Lihat ke Halaman Asli

Dr. Yupiter Gulo

TERVERIFIKASI

Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

Dilema Antara Nilai Kepercayaan atau Teknologi Digital

Diperbarui: 3 Februari 2019   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: blogs.cfainstitute.org

I. Didalam mempelajari ilmu manajemen sumber daya manusia (SDM), yang dalam istilah kekinian sudah bertransformasi dengan nama Human Capital, tidak akan terlupakan konsep Abraham Maslow dengan Kebutuhan Hakiki manusia dalam gambaran segitiga Hirarchy of Needs.

Meskipun Abraham Maslow lahir 110 tahun lalu, konsep yang dikemukakannya menjadi acuan handal manajemen yang sangat diyakini kebenarannya dan menjadi tumpuan mengelola SDM dengan lebih baik hingga masa kini.

Konsep pemikiran Maslow tetap diikuti meskipun dalam era industri 4.0 lebih sibuk manajers dan akademisi, apalagi generasi milenial menyibukkan diri dengan berbagai gajet dan alat serta aplikasi kecanggihan digital. Selain itu beratus tahun manusia juga meyakini bahwa untuk berusaha/berdagang faktor kepercayaan lebih besar artinya.

II. Kita semua memaklumi bahwa usaha organisasi dagang, pabrik atau perusahaan harus berjalan bersama dengan "bank kepercayaan". Al Golin (2003) menulis dalam bukunya Trust or Consequences: Build Trust Today or Lose Your Market Tomorrow: "Manusia akan hidup dan dapat bekerja karena memiliki Bank Kepercayaan."

Apa yang dimaksud dengan "Bank Kepercayaan"? Dari sebutan frase tersebut, suatu "Bank Kepercayaan" meliputi pendopositoan perbuatan-perbuatan hal-hal yang baik kedalam rekening kepercayaan dari waktu ke waktu sehingga dapat ditarik bila dibutuhkan.

Demikian orang berusaha membentuk organisasi perushaan. Organisasi hendaknya melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi karyawannya, nasabahnya atau pelanggannya dan masyarakat sekitarnya. Dalam kenyataan budaya yang baru di suatu perusahaan tentulah tetap harus dipikirkan pula kepentingan masyarakat luas, dari pembuat peraturan, pelaksana dan pengawasannya; termasuk tentunya pelaksana kebijakan negara.

Sir Geoffrey Chandler (2005), mantan direktur Shell International menulis dalam The Economist (February 5, 2005) bahwa terjadi ketidak percayaan publik yang berlanjut apabila perusahaan-perusahaan yang muncul dari persepsi bahwa keuntungan mendahului prinsip, bukannya berdasarkan prinsip. Prinsip-prinsip bila diinternalisasi dapat menyumbang bagi keberlangsungan jangka panjang sistem kapitalisasi.

Kapitalisme, menurut Chandler, yang sejauh ini dikenal dunia sebagai mekanisme paling efektif untuk menghasilkan barang-barang dan jasa serta penciptaan kekayaan, berada dalam ancaman bukan dari luar, tetapi dari dirinya sendiri juga karena kurangnya keteguhan prinsip-prinsip yang mendasarinya.

Lunturnya kehebatan faham kapitalisme, terbukti tiga belas tahun kemudian dari pernyataan Chandler, dengan maraknya kemajuan industri dan perdaganan Tiongkok; yang sejak diangkatnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika menjadi "momok"  baginya.

Sementara orang bekerja dalam organisasi untuk memuaskan kebutuhan individual mereka. Tempat kerja selalu menarik orang untuk memenuhi kehidupan privatnya dan menghubungkan mereka dengan dunia ekonomi tetapi juga dunia sosial yang lebih luas.

Keterhubungan bukan hanya menjadi sarana untuk tujuan sekedar menerima penghasilan tetapi merupakan tujuan penting dari hidup masing-masing orang sendiri. Sebab pada dasarnya manusia itu egois dan umumnya salah satu sisi manusia itu mendambakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Ilustrasi: kopywritingkourse.com

III. Manusia sesungguhnya diliputi oleh rasa tidak tenang, dalam keadaan tanpa norma dan aturan yang mengikat mereka dengan masyarakat. Hal demikian merupakan kegelisahan yang ingin dimintakan perhatian dan diharapkan agar dapat diatasi di tempat kerja.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline