I. Menurut siapa benar atau salah?
Apa jadinya ketika yang salah dianggap benar dan yang benar dianggap salah? Kebenaran menjadi sangat relatif tergantung dari kepentingan atau tujuan akhirnya. Kebenaran menjadi alat untuk memaksakan kehendak. Ukuran kebenaran menjadi relatif, tergantung siapa, kelompok mana yang menyatakannya.
Dalam era serba kemajuan teknologi komunikasi yang berbasis internet, dengan sosial media yang sangat mendominasi sedemikian rupa sehingga data dan informasi mengalir dan membanjiri ruang publik dan mempengaruhi otak, pikiran, persepsi dan perilaku serta interaksi sosial masyarakat.
Informasi mengalir begitu derasnya, bagaikan air bah menerjang siapapun yang dilewatinya. Melalui smartphone, gawai yang dimiliki sebagian besar masyarakat.
Saat seseorang membuka gawainya, saat itu juga informasi dan data mengalir dan mengalir. Dampaknya sungguh sangat massif dan dahsyat dan banyak korban berjatuhan karenanya.
Dalam konteks zaman-now seperti ini, mencari, menemukan dan menentukan sebuah data atau informasi sebagai sebuah kebenaran menjadi peroslan krusial, kritis, dan fatal dalam kehidupan publik. Termasuk hoaks, menyebarkan kabar bohong, telah menguasai jagag komunikasi sosial media kini.
Pertanyaan dasarnya, siapa yang menentukan apakah sebuah data atau informasi itu benar atau kebenaran? Apa ukuran yang dipakai untuk mengatakan bahwa informasi yang diterimanya benar atau tidak benar? Disinilah kekacauan terjadi, saat tidak ada ukuran tentang kebanaran itu, saat tidak ada yang memiliki otoritas untuk menilai kebenaran itu.
II. Cogito Ergo Sum
Sesungguhnya, ukuran kebenaran itu telah dipersoalankan jauh sebelumnya oleh para pemikir-pemikir ulung yang disebut para filosof. Bahkan ketika situasi belum serumit dan sekomplek sekarangpun, mereka sudah mempertanyakan ukuran kebenaran itu.
Cogito ergo sumu, berarti karena aku berpikir, maka aku ada. Frase sangat terkenal yang ditulis oleh pemikir Rene Descartes, seorang filosof Perancis yang mengemukakan faham logika baru. Rene Descartes yang hidup antara 1596-1650, dalam kajian filsafat dikenal sebagai pendiri filsafat modern (Filsafat Barat, 2007, Zubaidah, dkk., Ar-Ruzz Media, Jogjakarta).
Ketika Rene Descartes berumur satu tahun ibunya meninggal, dan peristiwa tersebut menjadikan trauma yang membuat Descartes selalu khawatir dalam hidupnya. Meskipun demikian dia belajar di suatu college di Perancis dimana dia belajar filsafat, logika, matematika dan fisika.