I
Saya sering mendengar dan membaca frase yang berbunyi "Rahmatan Lil Alamin". Bahkan dalam suatu kesempatan, di siang hari saya membaca frase ini kembali di salah satu rubrik harian umum Kompas dalam kolom "Dialog Perdamaian" .
Dalam rubrik kompas ini, saya menemukan makna serta pengertian dari frase ini, yaitu "...rachmatan lil alamin, rachmat bagi semesta alam, khususnya manusia."
Tentu saja saya sangat terkesan dan memori usia lanjut saya seakan bangkit kembali dengan semua pengalaman perjalanan hidup yang sudah saya alami selama 78 tahun. Utamanya bagian penggalan waktu ketika negeri ini mengalami gejolak, ketegangan, konflik bahkan peperangan yang dialami Indonesia untuk memperebutkan kedaulatan republik dari kekuasaan penjajah, yaitu Belanda dan Jepang.
Lalu, memori ini terus tergoda untuk merefleksikan dinamika perubahan dan perkembangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini yang sangat diwarnai dan didominasi oleh Revolusi Industri 4.0 dan Era Disrupsi yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.
Sebagai senior, saya bersyukur menikmati dan menyaksikan bagaimana generasi now, generasi milenial memaknai zaman digital saat ini. Tentu saja sangat jauh berbeda dengan generasi saya yang lahir 78 taon yang lalu.
Setelah membaca frase di rubrik dialog yang ada di Harian Kompas, pada sore harinya saya ber-WA dengan salah seorang teman yang ex-dosen dan Lektor Kepala pada FISIP Universitas Indonesia, yang seorang Muslim, untuk mengkonfirmasi tentang makna sesungguhnya dari frasa "Rahmtan Lil Alamin" itu. Dan mendapat pencerahan yang dalam dan luas, namun pada intinya konsepsi atau makna mendasarnya sama, yaitu "rahmat bagi semesta alam, khususnya rahmat bagi manusia".
II
Pengalaman ini saya kisahkan kembali di artikel ini dengan memori yanag terus mengganggu untuk digumuli, sehubungan dengan usaha saya mengumpulkan sejumlah artikel untuk buku saya yang baru, yang berjudul Bunga Rampai Pengembangan Karakter Bangsa; ketika dalam perjalanan saya menemui seorang sahabat yang baik, dosen pada Trisakti School of Management, dengan naik angkot dan duduk di sebelah pengemudinya.
Ditengah padatnya lalu lintas Jakarta di siang hari, saya menemukan pengalaman yang sangat mahal dan terkesan, yaitu dari kisah dan cerita kehidupan yang dialami oleh si pengemudi angkot yang saya tumpangi. Dia berkisah sepanjang perjalanan hingga saya sampai di tempat tujuaan, TSM Grogol.
Kisah yang sangat mengesankan karena pengemudi yang berumur 61 tahun itu menceritakan kisah perjuangan hidupnya dan bagaimana dia mengajarkan anak-anaknya tentang toleransi dan saling menghargai antara orang lain, utamanya yang mempunyai perbedaan-perbedaan.. (catatan: ...entah darimana dia mendapatkan perasaan bahwa saya bukan Muslim, sehingga tutur katanya begitu baik dan sangat hati-hati...).