Lihat ke Halaman Asli

Dr. Yupiter Gulo

TERVERIFIKASI

Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

Budaya "High Context", Pidato Prabowo tentang "Tampang Boyolali" Menjadi Tidak Nyambung

Diperbarui: 6 November 2018   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MOJOK.CO

I.Tampang Boyolali

Pidato Prabowo Subianto tentang "tampang Boyolali" yang disampaikannya pada saat meresmikian Posko Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno di Kabupaten Boyolali telah menjadi berita yang viral di hampir semua pemberitaan, baik media online, sosial media, televise dan bahkan koran majalah. Isu atau lebih tepatnya polemic tentang "tampang Boyolali" memiliki nilai berita yang sangat luar biasa.

Bahkan, "tampang Boyolali" telah menjadi "komoditas" politik yang tidak pro sama sekali dengan Prabowo-Sandi. Ibarat mendapatkan "amunisi" baru, lalu polemic tampang boyolali menjadi alasan untuk melakukan berbagai aksi, termasuk protes keras dari masyarakat dan komunitas Boyolali yang merasa di hina dan direndahkan oleh pernyataan yang sungguh menggangu itu.

Sangat mudah dimengerti reaksi dan dinamika yang muncul, baik yang secara spontasitas maupun yang memang betul-betul terencana dilakukan. Artinya, maknanya sangat kental dengan kepentingan kontestasi politik, pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 yang akan datang.

Pemahaman, telaahan, kajian dan semua percakapan sekarang menunjukkan bahwa pernyataan Prabowo ini bagaikan senjata makan tuannya sendiri. Karena, tim pemenangan akan sangat capek, dan menguras sumber daya, energy mereka untuk mengkaunter dan menjelaskan makna dari pernyataan Prabowo tersebut.

Nampaknya, mirip dengan kasus hoaks yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet beberapa bulan yang lalu. Sungguh sebuah strategi dan cara yang sangat tidak efektif dalam memenangkan sebuah kontestasi besar pemilu yang akan datang ini.

II. Komunikasi Tidak Nyambung

Dalam teori budaya komunikasi yang dilakukan oleh Prabowo adalah komunikasi dengan menggunakan High Context Culture, sementara public meresponsenya dengan menggunakan Low-Context Culture. Pesan yang disampaikan oleh Prabowo dengan Budaya Konteks Tinggi tidak difahami oleh publik karena menggunakan Budaya Konteks Rendah.

Jadi, tidak nyambung antara pesan yang disampaikan dengan pesan yang diterima. Bahkan, bukan saja tidak nyambung, masyarakat ptrotes, marah, geram dan mau memperkarakan pesan yang menurut mereka "menghina" masyarakat Boyolali itu.

Mengapa tidak nyambung, karena si pemberi pesan tidak mampu menjelaskan dengan baik, logis -- aragumentatif, berdasarkan fakta dan informasi yang akurat, menyeluruh dan tidak multi interpertasi.

Sementara itu publik memahami pesan itu dengan negatif, merendahkan martabat dan harga diri masyarakat karena dianggap "tampang Boyolali" dan bukan tampang, seperti, orang kaya, orang berpendidikan atau tampang metropolitan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline