Tanggal 3 Juni 2016 kemarin, dunia kehilangan seorang tokoh olahragawan, dai, sufi, dan sekaligus pejuang kemanusiaan berkarakter, Muhammad Ali. Ali, sang tokoh legendaris meninggal dalam usia 74 tahun karena penyakit parkinson yang sudah lama dideritanya. Hari itu adalah hari yang telah lama dinanti lama oleh almarhum untuk dapat bertemu sang pencipta kembali keharibaanNya. Hari ini Jumat tanggal 10 Juni 2016 adalah saat penguburan jasadnya yang berlangsung di Louisville, Kentucky, US, tempat asal kelahirannya.
Ali bukanlah sekedar olahragawan biasa, namun dialah seorang yang bisa merubah tinju menjadi sebuah laga yang menghibur dunia dengan segala gaya dan kemampuan aktingnya yang luar biasa yang dapat membawa suasana panggung menjadi berbeda. Kita semua masih ingat dengan mimik mukanya dan gaya khas yang ia miliki saat tampil di layar kaca sehingga ia dijuluki si "mulut besar". Dia juga yang dikenal dapat menggabungkan olahraga tinju yang keras dengan kemampuan seni menari seperti kupu, menyengat seperti lebah yang tidak dimiliki oleh petinju lainnya.
Semasa hidupnya Ali dikenal memiliki jiwa yang besar dengan menjadikan dirinya sebagai seorang pejuang kemanusiaan dengan dasar keyakinan politik serta agama yang diyakininya. Islam agama yang rahmatan lil alamin menolak segala bentuk kekerasan, demikian keyakinan beliau. Dia memilih mengganti nama menjadi Muhammad Ali ketika pindah keyakinan kedalam agama Islam pada tahun 1964.Muhammad yang berarti seorang yang dipuji dan Ali yang berarti luhur, menjadikan namanya berarti orang yang dipuji dan yang / luhur. Dalam kehidupan keluarga ia pun dikenang sebagai ayah dan kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab.
Kita bisa lihat bagaimana ia bersikap menolak saat diminta pemerintah AS untuk mengikuti wajib militer pada perang Vietnam, sesuatu yang diyakininya sebagai perang yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Ia memilih untuk mati di negara nya sendiri dibanding harus mati di negara lain dimana keberadaan tentara asing seperti dia membunuh rakyat yang tidak berdosa. Ia pun rela kehilangan gelar juara dunia nya dan dengan ancaman penjara dari pemerintah Federal pada masa itu.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, ia pun membuktikan kalau diri nya lah yang benar dan iapun mendapatkan hak hak nya kembali. Itulah dasar keyakinan yang kuat yang dimiliki oleh seorang Ali, dari sebelumnya dicemooh karena keputusannya yang kontroversial menjadi seorang yang dipuji dunia. Perang Vietnam terbukti menjadi sebuah blunder bagi pemerintah Amerika Serikat karena mereka menjadi perundangan dan bahkan tidak mendapatkan apa apa dari sana.
Saat masih duduk di bangku SD, saya teringat masa masa yang paling seru dan dinanti oleh setiap orang apabila ada siaran langsung pertandingan Ali. Sekolah kadang diliburkan atau pulang lebih awal guna dapat menonton acara yang lama ditunggu pemirsa. Semua mata dunia menuju ke arahnya.
Ali, si mulut besar, demikian julukan yang diberikan media kepadanya adalah seorang tokoh besar. He is the greatest, demikianlah orang lain menyebut dirinya sebagai yang terbaik, namun dibalik itu dia menyadari bahwa yang maha besar itu hanya milik yang diatas. Dia mengatakan bahwa dunia ini fana dan tidak riil, yang tidak memberi kebahagiaan abadi dan yang nomor satu dan terbaik hanya lah Allah semata, sang Rabb sebagaimana dengan apa yang dia ucapkan dibawah tentang penyakit yang didapatkannya.
"This life is not real. I conquered the world and it did not bring me satisfaction. God gave me this illness to remind me that I’m not number one, He is.”
Demikianlah sekelumit kisah dan kesan pribadi saya mengenai almarhum, semoga beliau mendapatkan tempat yang terbaik disisi Nya. Amin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H