Lihat ke Halaman Asli

SatyaMeva Jaya

Menulis, Berbagi, dan Lepas

Bahaya Laten Siasat Politik Berkedok Agama - Khilafah (2)

Diperbarui: 25 April 2022   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterpolitik.com

Melanjutkan artikel sebelumnya, kita harus cermat membedakan dan tegas menolak kehadiran kelompok-kelompok radikal yang sudah pasti  intoleran, kita harus mengkategorisasi  siasat kelompok fudamentalis tersebut. 

Semisal saja,  Wahabi pada dasarnya mengaku Ahlussunnah Wal Jamaah, namun pada tindakannya mereka melakukan kekerasan, mengkafirkan (Takfirisme), melakukan pembangkangan dan melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, jelas itu bukan konteks Ahlusunnah Wal jamaah, kemudian FPI yang mengaku Ahlussnnah Wal jamaah, mereka hadir dengan tampang paling islam dan si paling kuat pembela islam.

Mengutip sabda Rasulullah SAW, "bahwa islam itu unggul dan tidak ada yang diunggulkan", malah mendadak ada kelompok yang muncul dengan menamakan dirinya pembela islam, padahal islam sudah unggul dan akan unggul dengan sendirinya, lalu yang unggul lebih dari islam, di imani tidak ada.  Gusdur memperkuat dengan tulisan  yang diterbitkan oleh Tempo pada 28 Juni 1982 dengan judul "Tuhan tidak perlu dibela"

Dengan tindakan FPI dan kelompok sejenisnya yang melakukan tindakan seperti mendelegitimasi pemerintahan yang sah serta teriakan "turunkan Presiden Jokowi!", pastinya itu bukanlah tindakan Ahlussunnah Wal Jamaah. 

Tidak jarang mereka melakukan ibadah di tempat demonstrasi berlangsung dan ditemukan malah ada yang memakai sepatu walau sebenarnya bisa saja seperti itu apabila dalam keadaan mendesak atau dalam peperangan, kelompok tersebut kerap dijumpai dengan  mencitrakan diri hadir bepenampilan ke Arab-araban sehingga masyarakat yang masih pragmatis akan terpanah dengan sukarela membenarkan bahkan membela apa pun kelirunya perbuatan mereka, termasuk pada demo tempo hari ada yang sholat diatas mobil komando dengan gerakan sholat 2 kali rukuk dalam satu raka'at dan imam Sholat lipsing.

Tak jarang kelompok radikal dan intoleran ini membenturkan dengan pertanyaan untuk lebih memilih mengikuti Pancasila dan UUD 45 (Hukum Manusia) atau Al-Quran (Hukum Tuhan) yang dijamin kebenarannya.  

Penjelasan menjawab hal itu dari yang diketahui, bahwa tidak yang mengatur berpolitik dalam Islam, yang selalu identik dengan Khilafah sebagai anjuran Tuhan atau warisan Nabi Muhammad SAW, perlu diragukan hal ini. 

Kita tahu bahwa sistem Khilafah dengan rentetan sejarahnya begitu banyak konsep implementasinya dan kemudian dipakai setelahnya dengan berbagai penyesuaian terhadap keadaan yang ada, missal saja dimulai pada zaman Khulafaur Rasyidin yaitu dengan system Syuro atau aklamasi, lalu zaman Bani Umayyah yaitu dengan system Monarki Absolute atau hanya anak, sodara dan DNA terdekatnyalah yang bisa menggantikan sebagai Raja dan ada juga pada zaman Bani Abassiyah yang dikenal dengan Ahlul Ahlli Wal Aqdi.

Artinya dari tiga periode ini saja sistem politiknya dinamis, ditambah antara zaman Utsmaniyah  dan Bani Umayyah dimana Bani Umayyah di Eropa membagi kekuasaan dalam bentuk kecil kepada saudara-saudaranya. 

Maka, dengan ini banyak sekali system Khilafahnya, kemudian jika itu adalah warisan Nabi dan anjuran Tuhan mengapa system tersebut bisa berubah-ubah?, sedangkan sistem terdahulu itu lebih kepada kebebasan untuk menentukan sistemnya sendiri. Apa bedanya dengan Pancasila? Yang muncul hasil dari kesepakatan semua Ras, Suku dan agama serta kelompok-kelompok yang ada agar semuanya terakomodir dengan menyeluruh, mengingat perjuangan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan bersama-sama, khususnya Islam maupun Non Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline