Lihat ke Halaman Asli

SatyaMeva Jaya

Menulis, Berbagi, dan Lepas

Lembaga Peradilan Dipegang, Demokrasi Terkekang

Diperbarui: 20 November 2021   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tirto.id

Demokrasi terancam melalui Kehakiman

Demokrasi patutnya menjadi pedoman negarawan dalam melangkah, mengambil dan melaksanakan sebuah keputusan bersama dengan memperhitungkan azaz musyawarah mufakat. Setelah lahirnya sebuah kesepakatan atau aturan, maka mereka yang terikat dalam aturan, berkewajiban  mentaatinya dan bagi pelanggar akan dikenakan sanksi dalam putusan pengadilan. Lembaga Peradilan disini adalah suatu badan yang bertugas untuk penegakan hukum warga dalam menerima, mencari dan memutuskan suatu perkara yang diberi, sesuai kaidah-kaidah konstitusi yang berlaku, konstitusi tersebut berlaku untuk semua warga. Artinya, lembaaga tersebut tidak memandang status ekonomi, jabatan politik dan Ras dalam suatu negara, tak terkecuali pemerintahan sekalipun jika melanggar, semua sama dimata hukum.

Tetapi apa jadinya jika Lembaga peradilan yang ada tidak melaksanakan fungsinya dengan seadil-adilnya? Menerima, mencari dan memutuskan suatu laporan dilaksanakan dengan tebang pilih, terutama sukar untuk melaksanakan tugasnya terhadap  pemerintah yang memimpin dengan semaunya saja dan terbuka terhadap intervensi pemerintah dalam menjalankan perannya. Perlu digaris bawahi, Lembaga peradilan  dibuat salah satunya untuk mencegah pemimpin yang otoriter, agar tidak membuat kebijakan hanya menguntungkan kawan dan membungkam lawan, salah diputuskan bersalah dan benar diputuskan tidak bersalah.

Pada artikel ini penulis akan memberikan beberapa contoh kasus dimasa lampau tentang para pemimpin negara mengintervensi dan memperalat Lembaga peradilan dengan tujuan untuk membungkam oposisi, menjalankan pemerintahan autokrasi dan mensusupi para hakim yang loyal kepada pemerintah. Sehingga tanpa disadari hal itu seolah berjalan sempurna secara konstitusional, dalam arti pemerintahan yang dijalankan tidak mencederai hukum walau dengan tujuan hanya menguntungkannya saja.

Pertama, Fujimori-Peru dikenal sebagai pemimpin yang otoriter dengan strateginya yang mengancam demokrasi, namun pada artikel ini kita mengerucut pada intervensinya kepada Lembaga Peradilan. Narasi di masa awal kepemimpinannya yaitu ia menganggap para pemimpin kongres penipu dan menyebut para hakim tidak kooperatif, kasarnya ia menyebut para hakim bajingan dan serigala, hal ini dilancaraknannya sebab saat itu para hakim tersebut di isi hakim yang dahulunya ditunjuk oleh para oposisi dan Sebagian besar mendukung Mario (lawan saat pencalonannya) dibanding Fujimori, seluruh kebijakan yang diajukannya sebanyak 126 dekrit  pun ditolak para hakim dan kongres, karena dianggap membatasi kebebasan sipil dan aturan yang autokrat. Sehingga Fujimori melangkahi kongres dan menggunakan dekrit eksekutif yang mulai membatasi dan kaku. Isu ancaman terorisme pun selalu ia angkat, terlebih kebijakan semena-mena nya saat mengeluarkan narapidana ringan agar ada ruang penjara bagi pelaku teroris, sampailah Fujimori membubarkan Kongres, pada 5 April 1992 dan menyatakan konstitusi tidak berlaku lagi, dua tahun selanjutnya ia menjadi "Tiran".

Konkretnya ia membuat Lembaga peradilan tak berdaya dengan memanfaatkan Badan Intelijen Nasional Peru Yaitu Vladimiro Montesinos, Montes diketahui banyak memvideokan aksi memeberikan atau menerima suap ratusan politikus oposisi, hakim, pengusaha, jurnalis, dll, hal itu dilakukannya guna memeras mereka agar nurut kepadanya. Montes juga memegang tiga hakim agung dan dua hakim konstitusi dan banyak hakim serta jaksa lainnya dengan caranya yaitu mengirim uang bulanan kepada mereka yang dilakukan Montes secara diam-diam sehingga sistem hukum di Peru Nampak seperti biasa. Namun dibalik layar, Montes membantu Fujimori mengamankan kekuasaannya dengan konsolidasi "imbalan uang".

Selanjutnya di Peru, saat MK Peru menyerukan akan mencegah Fujimori melanjutkan masa kekuasaan pada 1997. Para koalisi Fujimori diparlemen malah mencopot tiga dari empat hakim MK tersebut dengan alasan para hakim MK tersebut tak Konstitusional karena membatasi masa jabatan presiden, padahal hal tersebut dilakukan parlemen agar Fujimori dapat memimpin tanpa batas alias Otokrasi.

Oh iya, Fujimori melakukan Politik makan  bersamal elite, seperti di Indonesia pada salah satu Gubernur hehe tapi makan malam saja

Lanjut, tiap kali senat ingin mengesahkan undang-undang, terlebih dahulu Fujimori mengajak para pemimpin senat makan bersama, apalagi saat ia tidak bisa menerima gagasan. tampaknya ia tak sabaran dengan politik demokrasi, maka ia ingin terbebas dari etika berdemokrasi itu. 

Kedua, Juan Peron-Argentina pada 1946, dikarenakan Peron anti kubu konservatif  yang salah satunya pernah menyebut ia fasis, Peron nampaknya khawatir kepada mereka sebab dianggap sebagai ancaman yang melemahkan kekuasaannya kelak. Terlebih saat undang-undang pro buruh yang ia inginkan di batalkan oleh pengadilan, sehingga para hakim yang membatalkan UU tersebut dianggap  lebih pro kepada oposisinya yang sama-sama keras menolak UU tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline