"Selamat siang, Ibu. Saya sudah pulang", teriak saya. Ibu menjawab dengan keheranan. "Pulang sama siapa Lis? Ayah mana?", tanya Ibu. "Saya pulang bareng Kian, Bu. Kebetulan mereka mau ke mall Ramayana. Kan serarah, Bu. Saya sudah beri tahu satpam kok, kalau Ayah jemput nanti bilangin saya sudah pulang sama Kian", jawab saya dengan sedikit menunduk. "Lain kali jangan buat Ayah khawatir yah, Nak. Sudah. Kamu ganti pakaian dan makan siang. Lapar kan?", kata Ibu. Saya menganggukan kepala dan segera ke kamar.
Sesampainya di kamar, saya langsung rebahan di tempat tidur. Saya merasa bersalah karena sudah membohongi Ibu. " Maafkan Lisa, Ibu. Maaf banget", kata saya dalam hati.
Saya bangun dan bergegas berganti pakaian, kemudian ke meja makan untuk makan siang. "Oh Iya, Bu. Sebentar sore, saya dan teman-teman akan latihan menari di sini, Bu. Untuk pentas seninya kita di sekolah. Bisa siapkan makanan ringan yah, Bu. Hehehe", saya sedikit tertawa malu. Ibu pun tersenyum dan menyetujuinya.
Jam 16.10. Tino, Ranita, Kian, dan Mikhael tiba di rumah. Mereka dijemput satu-satu ke rumahnya dan diantar oleh sopirnya Mikhael. "Halo anak-anak. Mari masuk. Jangan malu-malu anggap rumah sendiri. Pintar yah anak-anak zaman sekarang ini. Latih tarian sendiri dan belajar dari Youtube", sapa Ibu kepada teman-teman saya.
"Makasih yah tante, emang kita pintar dari lahir kok", celetuk Tino yang super duper aktif. Semuanya langsung menyambut dengan tawa riang. Ibu langsung mengajak kami ke ruang tengah yang sudah diatur agar lebih luas, sehingga kami bisa latihan dengan nyaman. Sudah ada speaker dan TV led 43 inch yang terhubung dengan internet sehingga bisa kami gunakan untuk mencari video tutorial menari pinguin di youtube.
Setelah dapat video tutorialnya, kami langsung atur formasi dan menari mengikuti gerakan di video. Ibu langsung membawakan makanan ringan dan minuman, kemudian sedikit membantu mengatur gerakan kami. Halus kasarnya, gerakan sesuai lagu dan sedikit memoles ragam. Ahhh Ibu terbaik. Tiba-tiba. Paaang. Suara pintu depan dibanting dengan sekerasnya. Kami semua kaget dan Tino dengan sigapnya mengambil remote tv dan mengecilkan volume videonya.
"Lisa. Kenapa kamu bikin Ayah pusing? Ayah dari tadi di sekolah panik cari kamu. Kan sudah Ayah bilang berulang-ulang. Pulang sekolah pasti Ayah jemput. Kalau Ayah tidak sempat pasti Ayah minta Ibu atau sopir di kantor untuk jemput kamu", teriak ayah sambil memegang bahu saya.
"Ayah bicaranya tolong pelan-pelan. Ini anak-anak loh. Ada teman-temannya lihat, Ayah", jelas Ibu. "Kamu jangan ikut campur yah. Atau jangan-jangan kamu yang provokasi Lisa untuk pulang duluan?", teriak Ayah dengan emosi. Ibu menggelengkan kepala tanda tak setuju.
Praaakkk. Bunyi vas bunga jatuh tepat di samping Ibu. Ayah melempar vas bunga ke arah Ibu. Teman-teman saya langsung berlarian sembunyi di belakang sofa. Saya cuma kebingungan melihat kejadian ini.
"Pasti kamu yang ajarkan Lisa untum melakukan itu. Kalau tahu Lisa pulang bareng orang lain, mestinya kamu telepon beri tahu saya. Tapi kamu cuma diam-diam. Emang kamu sengaja yah", kata Ayah sembari memukul wajah Ibu. Saya berlari memeluk kaki Ayah.
"Saya yang salah Ayah. Ibu tidak tau apa-apa. Maafkan Lisa yah Ibu. Maafkan Lisa. Saya mohon Ayah. Jangan sakiti Ibu lagi", tangis saya memecah. Ibu langsung berlutut memeluk saya dan ikut menangis. Kemudian Ayah pergi meninggalkan kami berdua. Teman-teman saya, lantas mendekati saya dan Ibu. Ranita mengelus-elus punggung saya. Saya melihat mereka satu persatu dan saya semakin keras menangis. "Tuhan, saya malu!", kata saya dalam hati.