Lihat ke Halaman Asli

Saat Doa Mengalir, Nikmat Mana yang Aku Dustakan ?

Diperbarui: 10 Agustus 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru saja saya kembali dari perjalanan yang sudah lama tak pernah dilakukan. Yup...perjalanan sendiri ke sebuah tempat yang jadi salah satu 'rumah' dalam hidup. Barisan Gunung dan perkebunan teh yang melatari perjalanan itu, adalah sebuah kebahagiaan dalam hidup, buat saya. Melihat lekukan afdelling, dibawah langit biru berpadu awan Seputih kapas...rasanya sulit membayangkan keindahan surga yang Allah janjikan yang saya yakini lebih berlipat -lipat keindahannya. 

Berada dikelilingi tembok terlalu lama kadang membuat hati juga seperti kerasnya tembok. Untunglah Pelita hati itu masih bisa mampu menembus lapisan debu yang kadang tercipta saat melakoni kehidupan penuh pencitraan. Desir angin... daun teh berbisik seakan mengajak saya kembali ke Patuha dan membuat hidup saya kembali 'penuh'. Kaki tangan dan semua organ pun bersinergi mengamini. Dan akhirnya diri melangkah menuju tempat di dataran tinggi itu, dimana keheningan dan udara dingin membuat diri kembali menyapa jiwa yang hingga kini masih menyisakan ruang kosong. Dan pergolakan yang terjadi di ruang itu seolah membuatnya hampa udara...dan kali ini udara murni di pegunungan sepertinya tengah meredakan segala pergolakan itu ...melalui sapaan tulus, senyuman yang jujur, dan ketangguhan yang memang ditempa dan dijalani dengan ikhlas ... 

Terlampau pongah rasanya saat diri melihat sekeliling di masa lalu. Diri berontak, karena hidup semestinya bukan begini adanya. Hidup terkoneksi satu sama lain dengan sahaja, bukan dengan semudah jari telunjuk seseorang melakukan ini itu hanya karena aliran materi menjadi salah satu alasan di ujung hari. 

Perlu perjuangan memang untuk membawa sisi-sisi ketulusan yang kemarin mengisi ulang energi, di sebuah tempat bernama kota. Dengung kebutuhan personal membuat diri lupa arah ... Untuk apa dia berlaku ini dan berlaku itu...sulit bahkan hanya sekedar untuk mendengarkan suara hati diri, karena terlampau bising. Untunglah sepertiga hingga dua pertigaan malam itu kebisingan mereda...semoga saja lantunan...rintihan...harapan itu masih mampu menembus langit ... Menembus Yang Maha Tinggi, namun Maha Dekat ... Sekadar konsultasi akan mekanisme kehidupan yang kian carut marut.

Semoga diri selalu belajar...memiliki resiliensi hati yang cukup kuat saat diterpa apapun ... Tak membatu disaat diuji kenyamanan ... Selalu diingatkan untuk  "iqra..bismirobbikalladzi kholaq..."

 

#karena sabar itu tak berbatas ...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline