Padang, 10 April 2019.
Menurut pamflet yang beredar di media sosial seperti yang tercantum di atas. Teman-teman yang berdomisili Jambi, Riau dan Bengkulu berduyun-duyun datang ke KPU. Jalan Ampang dan Khatib Sulaiman yang basah karena hujan. Begitu juga teman-teman yang basah kuyup tanpa memakai mantel. Menerjang hujan dengan terus memacu sepeda motornya.
Satu niat di dalam diri mereka, ingin mengurus formulir A5 untuk pemindahan pemilihan. Sebab, mereka di rantau tidak memungkinkan untuk pulang. Mereka ingin berpartisipasi di dalam pemilu raya 5 tahun sekali ini. Memilih pasangan calon sesuai pilihan hati.
Sudah basah kuyup, berdiri di depan petugas KPU sambil membawa KTP dan KK. Tapi seribu sayang dan maaf. Untuk mahasiswa sudah tutup sejak 17 Maret kemarin. 10 April ini hari terakhir bagi mereka yang sedang berada di lapas, tugas kerja dan sebagainya. Sekali lagi bukan untuk mahasiswa. Teman-teman pulang, mengganti arus perjalanan menuju Gunung Sarik.
Jawaban petugas KPU di sana sama seperti yang pertama. Teman-teman telah terlambat. Kenapa tidak mengurus dahulu ketika petugas KPU singgah beberapa hari di kampus. Kenapa baru sekarang berduyun-duyun datang.
Salah seorang teman berseloreh dengan salah satu petugas.
"Jadi kami harus golput bang? Kenapa harus ada batasan waktu 17 Maret? Bisa jadi kemarin banyak kendala ataupun lupa untuk mengurus yang di kampus."
"Ini ketetapan dari atasan dek. Kami hanya menjalankan tugas. Silahkan memilih saja di kampung."
Dibalas lagi dengan tekanan suara dan mimik muka kecewa.
"kami harus pulang kampung? Ke Bengkulu dengan 500 rb hanya untuk memilih presiden?"