Lihat ke Halaman Asli

Yunita Elvianti

Seorang mahasiswi

Mahasiswa KKN UIN Walisongo Buat Podcast Kesetaraan Gender Membahas "Seksisme dalam Kehidupan Sehari-hari"

Diperbarui: 9 November 2021   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Anggota Kelompok 115 KKN REGULER 77 UIN Walsiongo baru saja melaksanakan podcast mengenai kesetaraan gender, yang membahas “Seksisme dalam Kehidupan Sehari-hari”. Dalam podcast tersebut kelompok 115 turut mengundang 2 narasumber dari kalangan mahasiswa yaitu Dilla Fadia Azzahra yang berasal dari Universitas Brawijaya beliau merupakan seorang aktivis dari pemberdayaan perempuan UB, selain itu turut mengundang Mahasiswi UIN Walisongo yaitu Haryana Hadiyanti merupakan mahasiswi ilmu hukum. Tidak lupa kegiatan tersebut dipandu oleh anggota kelompok 115 yaitu Handika Reksa

Dalam podcast tersebut narasumber dan pemandu membahas ap aitu seksisme, bagaimana sejarah seksisme, bagaimana kita sebagai society menanggapi korban seksisme ini, serta apa dampak terhadap mental korban yang diakibatkan oleh adanya budaya seksisme. Seperti yang telah diketahui bahwa society di Indonesia masih banyak yang meng-amini budaya seksisme ini, tidak mengenal gender apapun dan latar belakang budaya yang seperti apa. Namun budaya seksisme ini cenderung untuk menyudutkan perempuan atau salah satu gender yang dianggap lemah oleh masyarakat

Mungkin kita sering mendengar pada contohnya bahwa perempuan hanya mengurus dapur, sumur, dan Kasur. Pernyataan itu seringkali ditemukan di media sosial, kehidupan sehari-hari, media, dan lain-lain. Ternyata masih banyak yang belum menyadari akan hal tersebut dapat disebut sebagai “seksisme”. Secara tidak langsung, ungkapan tersebut menyudutkan perempuan dan menganggap laki-laki lebih berhak untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu di masyarakat. Representasi pembagian jenis kelamin dan peran gender itu telah ditanamkan pelan-pelan pada anak, sejak ia kecil hingga beranjak dewasa.

Disini juga dibahas mengenai kekerasan seksual yang terjadi di KPI, namun melihat dari segi komentar masyarakat. Di berbagai media sosial, mungkin sudah tidak asing menemukan komentar yang pedas dan tidak mengenakkan bagi korban. Begitu banyak masyarakat yang melontarkan koemntas terhadap korban seperti

“Cowo ko digituin diem aja…”

“Cowo harusnya ngelawan dong, masa ga punya power”

Komentar tersebut dapat dikategorikan sebagai seksisme yang dibalut oleh kata yang merujuk pada candaan. Namun kerapkali kita sebagai masyarakat abai terhadap perasaan korban, terlebih merujuk pada suatu gender yang dipandang seharusnya lebih powerful disbanding gender lainnya. Karena banyaknya muncul komentar pedas dari society kita, akan berdampak buruk terhadap mental si korban. Pada contohnya kasus yang sedang trending, di KPI. Pak MS hingga didiagnosa menderita gangguan mental PTSD. PTSD adalah gangguan stress pasca-trauma yaitu kondisi Kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa yang menakutkan, baik setelah mengalaminya atau menyaksikannya. Gejala PTSD termasuk flashback, mimpi buruk, perasaan cemas, serta pikiran tak terkendali mengenai peristiwa tersebut.

Disinggung pula mengenai bentuk seksisme yang lain yaitu hostile seksisme, yaitu keyakinan serta perlikau yang secara terang-terangan untuk memusuhi sekelompok atau sejumlah orang berdasarkan pada jenis kelamin atau gender tertentu. Salah satu contoh yang dapat ditemukan di lingkungan ialah adanya misogini atau bisa disebut kebencian terhadap perempuan. Biasanya orang-orang yang memiliki pandangan misogini memiliki sikap berupa manipulative, pendusta dan menggunakan rayuan untuk mengendalikan perempuan. Orang-orang yang melanggengkan praktik hostile sexism ingin mempertahankan dominasi laki-laki atas perempuan dan jenis kelamin terpinggirkan lainnya. Dan mereka biasanya sangat menentang dengan adanya konsep kesetaraan gender ini, serta mendukung budaya seksisme untuk terus hidup dan berkembang

Kita sebagai masyarakat yang aware akan kesehatan mental dan aware akan hak-hak kesetaraan gender, diharapkan tidak menjadi bystander (orang yang hanya melihat namun tidak menolong) namun menjadi upstander (orang yang menolong) jika terjadi kejadian seksisme di lingkungan. Karena harapann ke depan untuk mengikis budaya seksisme agar tidak berkembang lebih besar lagi

Selain itu, pertolongan yang dapat diberikan kepada korban dari seksisme ini kita perlu memberikan ruang yang aman, dengan maskud unutk mendnegarkan tanpa menghakimi agar korban merasa tervalidasi perasaannya akan apa yang telah terjadi. Tanyakan apa yang bisa kita lakukan untuk korban.

dokpri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline