Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Kutenggak Air Ini?

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13567938241284286887

Pernahkah kita berpikir seberapa banyak air yang kita habiskan setiap hari? Ternyata setiap orang menghabiskan rata-rata 144 liter air per hari untuk keperluan mandi,mencuci, memasak, minum dan beribadah. Survei ini dilakukan oleh Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta karya, Departemen PU tahun 2006¹. Itu hanya untuk keperluan rumah tangga. Belum lagi, air untuk kepentingan pertanian, industri dan lainnya. Memang kelimpahan air di bumi mencapai hampir 80 %. Namun, bagaimanakah dengan kualitas air yang kita pakai? Apakah memenuhi standar kualitas air, terutama air yang dipergunakan untuk minum? Jangan sampai untuk minum saja membuat kita berpikir, “Haruskah Kutenggak Air Ini?”

Kebanyakan kita mengonsumsi air yang bersumber dari tanah (groundwater) dan air permukaan (surface water, seperti danau atau sungai) untuk berbagai keperluan rumah tangga. Namun, apakah air yang kita gunakan aman? Sedangkan untuk air minum, harus memenuhi aturan standar kelayakan air minum, seperti yang diatur dalam SNI (Standar Nasional Indonesia)² bahkan organisasi dunia UNESCO/WHO/UNEP, 1992 (Alaerts, Santika, 1987).

Dahulu, dengan hanya memasak air hingga mendidih kita beranggapan bahwa air tersebut layak untuk diminum. Memang, cara ini ampuh untuk membunuh bakteri yang terkandung dalam air. Tetapi bagaimana dengan kandungan lainnya? Misalnya saja kandungan zat kimia yang mungkin melebihi ambang batas keamanan. Mengingat, kini sumber-sumber air kian tercemar oleh limbah domestik (rumah tangga) dan limbah industri. Deteksi dini yang seringkali dilakukan adalah dengan cara mengamati warna, bau dan rasa pada air.

Air yang akan dipergunakan, terutamauntuk minum seyogyanya tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Tetapi dengan hanya mengandalkan indera saja tidak cukup. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa mungkin terkandung zat-zat berbahaya akibat pencemaran yang tidak dapat terdeteksi oleh indera, misalnya merkuri, nitrat, nitrit, benzen hingga sianida yang dapat terbawa akibat limbah industri, pertanian dan domestik.Tentu hal ini perlu diperhitungkan. Bukan saja pengamatan secara fisik, namun persyaratan kimia dan bakteriologis perlu diperhatikan.

Keadaan ini membuat kebanyakan masyarakat Indonesia terbiasa dengan mengonsumsi air mineral untuk keperluan air minum. Namun, bagi masyarakat yang hidup di tempat-tempat yang kekeringan dan mengalami krisis air, seperti NTT dan Maluku, hal ini belum dapat terlaksana. Mendapati sumber air saja, rasanya sudah cukup membantu kelangsungan hidup mereka. Seperti dilansir dari berita di tribunnews.com pada 1 Desember 2012 bahwa warga Kupang meminum air kubangan hewan yang berwarna hijau dan keruh dengan alasan jauhnya sumber air bersih. Belum lagi dimusim penghujan seperti sekarang ini, sumber air bersih sulit didapatkan akibat meluapnya air sungai yang menyebabkan turbulensi (pergerakan) yang berlebihan di badan air sehingga kotoran yang tadinya terakumulasi didasar sungai menjadi teraduk dan naik ke permukaan.

Sebenarnya siklus air (daur hidrologis) secara alami mampu menyaring kotoran dan zat-zat kimia yang terkandung didalamnya. Masih ingat kan dengan pelajaran SD mengenai siklus air alam? Laut sebagai sumber mata air terbesar akan menguap akibat sinar matahari. Karena perubahan suhu, uap air akan mengembun dan jatuh sebagai hujan. Hujan itu sebagian jatuh ke laut dan sebagian lagi jatuh di atas daratan dan kontak dengan permukaan bumi (sungai, kolam, danau). Air ini ada yang masuk ke dalam tanah dan ada yang kembali ke laut. Begitulah seterusnya sehingga keberadaan air seharusnya tetap terjaga.

13567923311817791748

Sumber : http://www.eoearth.org

Namun, bagaimanakah kenyataannya? Terlebih dengan kualitasnya? Kini, siklus air alami tidak lagi mampu untuk menjaga kelestarian air. Terlalu banyak bahan pencemar yang masuk ke dalam badan air ditambah dengan minimnya daerah resapan air akibat pembangunan yang tidak bijak dan mengabaikan lingkungan. Lantas apa yang bisa diperbuat?

Kunci utama adalah bijaksana dengan lingkungan. Membuang sampah pada tempatnya untuk menekan polutan anorganik yang masuk ke dalam badan air juga mencegah banjir (misal: kaleng dan plastik yang sulit terurai), memilah sampah organik dan anorganik, memanfaatkan sampah organik sebagai pupuk alami (mengurangi polutan kimia dalam tanah yang akan mencemari air), menanam pohon sebagai upaya memaksimalkan resapan air dan tentu saja bijaksana dalam menggunakan air. Semua upaya tersebut selain dapat menjaga kelestarian air juga melestarikan lingkungan. Bayangkan jika semua orang melakukan hal-hal ini?

Dengan begitu, air dapat dimaksimalkan penggunaannya melalui air tanah dan air keran. Kelestarian sumber air minum pun terpelihara. Tidak harus terus menerus mengandalkan air mineral. Segalanya harus diperlakukan secara bijak. Selain itu, isu-isu pemalsuan air mineral kini mencuat dan perlu diwaspadai.

Untuk keperluan minum, teknologi water purifier bisa menjadi salah satu solusi yang menjamin kesehatan. Jika dengan memasak air membutuhkan gas atau listrik untuk pemanasan. Teknologi Unilever Pure It ini memperhatikan penghematan energi, yang mampu bekerja tanpa gas dan tanpa listrik dengan 4 tahap pemurnian air yang menjamin kesehatan. Baca selengkapnya di: www.pureitwater.com/ID/ ³.

Dengan memaksimalkan upaya-upaya diatas, kelestarian sumber air minum akan terjaga.

Pertanyaan yang terpampang pada judul, “Haruskah Kutenggak Air Ini?" sirna bersama mengalirnya air jernih yang menyehatkan saudara-saudaraku di Tanah Air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline