Lihat ke Halaman Asli

Nisaa

Nisaaa

Hati-hati dengan Jempolmu, Sayang!

Diperbarui: 17 Januari 2022   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hati-hati dengan jempolmu, sayang !

Suara tangan lebih mudah terdengar di zaman yang semi maya seperti saat ini. Suara tangan itu bahkan bisa melintasi dinding dinding yang padat, hutan-hutan yang lebat, lintasan jalan yang padat. Hanya sepersekian detik, hanya sepersekian kejapan. Coba dengarkan itu !kata kemajuan terdengar begitu indah di telinga seseorang. 

Kata modernisasi terdengar begitu mengesankan hati seseorang. Modernisasi memungkinakan tangan menjadi pengendali. Memungkinkan jemari menjadi penghidupan sekaligus kematian atas diri sendiri dan orang lain. 

Dahulu selalu pena yang berbicara. Melalui serat dan kertas. Mesin cetak dan mesin ketik datang dan menjadi tuan rumah setelahnya. Itulah yang kemudian dikenal dengan William shakespare, itulah yang kemudian seseorang kenal dengan sutan takdir alishabana. Suara tangan mereka bergema begitu lantang melalui tulisan-tulisan. 

Namun tak begitu jauh saat itu menyebarnya. Hanya kepada lingkungan dekat mereka saja barangkali suara itu terdengar. Hanya kepada lingkungan elitis saja barangkali. 

Hanya kepada golongan terpelajar saja barangkali. Hanya kepada golongan yang mengenal baca tulis saja barangkali. Hanya kepada golongan yang bisa baca tulis dan berduit saja barangkali. 

Entahlah. Gema suara mereka masih terdengar meratap diantara tebalnya tembok. Tapi tak mampu kencang lajunya saat itu. Sementara dalam dunia yang dewasa ini, suara-suara tangan bisa begitu dengan mudah terdengar lantang. 

Katakan sebuah kalimat pendek apapun lewat suara tangan itu dan seseorang di ujung eropa barat sana akan dengan cepat mengetahui apa yang telah tertulis itu. Hanya sepersekian detik, hanya sepersekian kejapan. Tentu itu terlihat indah. 

Terbaca sangat menggembirakan. Namun masalah muncul dari balik keindahan itu sebenarnya. Selalu saja manusia itu sendiri yang menjadi biang masalahnya. Dialah sang pendamai dan pencipta masalah. Dialah pahlawan sekaligus penjahatnya. Dialah wira sablengnya, dia pulalah mahesa birawanya.  

Selalu saja demorkrasi yang menjadi landasan dalam konteks bersuara dengan tangan ini. Selalu saja kebebasan yang menjadi tolak acuan. Sudah benarkah apa yang tersimpan dalam kepala seseorang tentang apa itu kebebasan ? tentang apa it demokrasi ?. Lalu dimana batasan itu bertempat ? dimana rasa kemanusiaan itu bersinggasana ?. 

Bukankah demokrasi dan kebebasan yang selalu dikumandangkan itu seharusnya selalu berdampingan dengan batasan-batasan ? selalu beriringan dengan rasa kemanusiaan ?. entahlah, tapi mereka yang berbicara lewat suara tangan itu kebanyakan tak mengindahkan batasan, tak mngindahkan rasa kemanusiaan. Entah keterpanggilan yang bermuasal dari mana yang menggerakkan mereka untuk selalu bersuara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline