Hujan masih saja belum mau berhenti setelah mengguyur kota kecil ini sepanjang malam. Saya sedang mempersiapkan kendaraan, sebuah motor butut yang menjadi teman setia dalam setiap kegiatan, motor merah yang akan "melolong" nyaring dan knalpotnya mengeluarkan suara meletup ketika jalanan mendaki. Mungkin kalau manusia, kondisi motor ini layaknya disebut "ngos-ngosan" ketika kupaksakan melaju di pendakian.
Setelah hujan sedikit mereda, akhirnya saya berangkat bersama seorang rekan menuju Kecamatan O'ou, salah satu wilayah di Kabupaten Nias Selatan yang penduduknya sebagian kecil berprofesi nelayan, dan tujuan kami adalah mengunjungi nelayan di sana. Perjalanan terus berlanjut dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam dari Teluk Dalam. Kami memelankan laju kendaraan karena hujan yang semula reda makin lama makin deras, ditambah lagi dengan jalanan yang mendaki juga licin karena hujan dan beberapa bagian jalan rusak membuat kami harus berhati-hati berkendara.
Akhirnya kami tiba di Kantor Kecamatan O'ou dalam keadaan basah. Tak ada pakaian ganti atau perlengkapan lain yang dibawa. Kami hanya bisa berusaha mengamankan ransel kecil kami yang berisi buku dan berkas-berkas supaya tidak basah. Kami disambut oleh camat dengan ramah dan berbincang sebentar berkaitan dengan tujuan kami berkunjung di wilayahnya dalam hal survei alat tangkap ikan nelayan. Oleh Camat O'ou sangat menyambut baik tujuan tersebut dan menugaskan salah satu stafnya untuk menemani kami di lapangan menuju desa nelayan. Meski hujan masih deras, kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju desa nelayan mengingat waktu makin beranjak siang sementara masih banyak agenda lain yang harus kami kerjakan sekembalinya nanti di Kota Teluk Dalam.
Desa Hilinamozihono Moale, demikianlah nama desa tersebut yang sebagian besar warganya adalah nelayan. Nelayan yang kami kunjungi rumahnya berlokasi di pesisir Pantai Moale, sebuah daerah pantai yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Sayangnya, potensi wisata pantai ini tidak dikelola secara optimal, bahkan jalan masuk menuju pantai di mana rumah nelayan berada kondisinya sangat rusak. Beberapa kali ban motor kami terperosok dalam bebatuan jalan, ditambah lagi dengan hujan yang membuat medan makin menantang. Dan akhirnya kami tiba di pinggir pantai dengan kondisi yang makin basah kuyup. Ada sekitar 5 rumah di sana, rumah papan sederhana milik nelayan. Kami disambut dengan senyum ramah.
"Nelayan di sini menggunakan alat tangkap jaring dan pancing. Untuk armada penangkapan, beberapa nelayan masih memanfaatkan perahu fiber kecil dan mesin 5,5 PK bantuan dari Pemerintah Daerah. Itu pun jumlahnya masih terbatas. Tidak semua nelayan mempunyai fasilitas yang sama. Nelayan masih banyak yang hanya bermodalkan perahu dayung dan atau tanpa perahu, yaitu nelayan yang menjaring ikan di pinggiran pantai saja." Demikian penjelasan salah satu nelayan yang merupakan ketua kelompok nelayan di desa tersebut. "Untuk waktu-waktu tertentu kami juga menyelam dengan menggunakan kompesor, alat selam rakitan sendiri. Hasil yang kami dapatkan seperti udang dan teripang tapi hasilnya biasa saja, cukup-cukuplah, mengingat alat selam yang terbatas dan risiko kecelakaannya tinggi.
Tak ada kopi selama percakapan. Aku juga enggan memintanya, sementara cuaca di luar semakin dingin. Jadilah kami ditawari tuak. "Untuk pemanasan," kata salah seorang nelayan menyuguhi kami. Sudah lama sekali saya tak menikmati tuak nias ini. Di sini malah saya ditawari. Perbincangan terus berlangsung sembari meneguk minuman "pemanasan" teguk demi teguk. Rasanya memang membuat tubuh sedikit hangat. Ketika saya menanyakan illegal fishing, cerita demi cerita pun mengalir dari nelayan menyatakan kapal pukat trawl dan aktivitas bom ikan di sekitar perairan tempat mereka biasa menangkap ikan. "Kalau nelayan di sini tidak menangkap ikan pakai bom. Itu sangat kami larang di sini. Tapi kami tidak bisa mengendalikan nelayan-nelayan dari luar, sepertinya dari Sibolga. Kapal mereka besar-besar, sekitar 20-30 GT dan kapalnya berkecepatan tinggi. Biasanya kalau kapal itu sudah melintas, tak lama setelah itu akan terdengar suara-suara ledakan bom ikan."
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dikomandoi oleh Ibu Menteri Susi Pudjiastuti sedang gencar-gencarnya dalam memberantas illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan-nelayan dari luar yang mencuri ikan di wilayah Indonesia. Selain itu, bagaimana bisa kita membiarkan pencuri ikan tersebut mengobok-obok kedaulatan kita atas laut Indonesia. Tapi sepertinya, efek jera dari tindakan-tindakan Menteri Susi belum sampai membuat aktivitas illegal fishing berhenti, meski harus kita akui makin lama memang secara tingkatan makin menurun. Tapi yang membuat miris adalah, ketika Pemerintah sedang berusaha mengusir nelayan asing dan menjaga kedaulatan laut kita, justru di pelosok-pelosok kepulauan, illegal fishing malah masih dan bahkan marak dilakukan oleh nelayan-nelayan lokal sendiri. Beberapa hari yang lalu saya membaca berita Pukat Trawl yang masih beroperasi di wilayah perairan Sibolga dan Tapanuli Tengah.
"Kapal Pukat Trawl juga sering melintas di sini. Dan kelihatannya, mereka bukan melintas saja, tetapi beroperasi di sekitar perairan itu di sana (sembari menunjuk lautan depan pulau). Saya tahu itu karena saya tiga tahun lalu kerja di Kapal Pukat Trawl. Jadi saya tau persis bagaimana model kapalnya dan bagaimana mereka beroperasi." Demikian penjelasan dari nelayan muda marga Maruhawa. "Kapal tersebut besarnya sekitar 60-80 GT. Tidak ada patroli di sini. Kami juga takut mendekati mereka. Bagaimana bisa kami mengusir mereka dengan perahu kecil kami ini."
Minimnya sarana dan prasarana pengawasan milik Pemerintah Daerah harusnya menjadi prioritas Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menguatkan pengawasan dan pemberantasan illegal fishing khususnya di daerah-daerah kepulauan terpencil yang menjadi areal aktivitas illegal fishing. Satgas 115, TNI dan Polri tidak semuanya memiliki pos terdekat di sekitar pulau-pulau yang bisa menjangkau dalam waktu dekat ketika terjadi illegal fishing, hal ini tentunya menjadi perhatian bersama.
Membangun kapasitas masyarakat dalam hal pengawasan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan fasilitas armada kenelayanan mereka. Besar harapan, nelayan-nelayan di Kepulauan Nias khususnya Nias Selatan dapat menjadi prioritas dalam hal mendapatkan bantuan Kapal KKP, karena dengan ini, nelayan bukan saja terbantu dalam hal peningkatan kesejahteraannya tetapi juga dengan armada tersebut bisa berperan dalam hal pengawasan sumber daya laut.
Fasilitasi Pengawas Perikanan di lingkup DKP Kabupaten Nias Selatan sangat diperlukan. Pendidikan dan Pelatihan Pengawas Perikanan dalam meningkatkan SDM DKP Kabupaten Nias Selatan perlu ditingkatkan, fasilitas pengawasan, rutinitas pengawasan (Patroli) dan dukungan anggaran juga kebijakan Pemerintah, harapannya dapat memperkuat pengawasan sumber daya perikanan di wilayah perairan Nias Selatan dan tentunya akan memberikan peningkatan kualitas perairan yang mengarah pada pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan oleh nelayan untuk kesejahteraannya. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.