Lihat ke Halaman Asli

[Puisi] Ocehan Hujan

Diperbarui: 10 Mei 2016   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - hujan (kfk.kompas.com/Joko Nuswantoro)

Bagaimana kau berkaca pada hujan, tetesnya memecah setiap menghampiri tanah, atau genangan keruh meluluhkan liatan, memenuhi lobang-lobang jalan raya yang asalan membangunnya. Aku  masih di sini, meminggir bersama segerobak aspirasi yang menjadi sampah, memenuhi gerobak-gerobak parlemen setelah didorong berlelah-lelah oleh pemerhati yang peduli, tentang hutan, tentang tanah ulayat, tanah adat yang diserobot, tentang laut, tentang nelayan-nelayan pesisir yang kehidupannya hendak direklamasi, tentang ikan-ikan yang tercuri, tentang karang-karang yang hancur oleh botol-botol molotof dari tangan-tangan penjarah tak bertanggung jawab. Mafia melebarkan sayap, ketika di perbatasan pencuri mulai dikejar, para perusak bergerilya di selat-selat, di teluk-teluk kepulauan yang  jauh dari kacamata Sang Paus yang disebut-sebut "Si Gila", atau disebut "Penenggelam Kapal".

Aku masih di sini kawan, bersamamu. Menyaksikan kemirisan-kemirisan yang semakin masif karena lahan mereka mulai gersang. Mereka yang menjarah, mereka yang serakah, tapi rakyat masih buta, masih belum satu, masih mau menjadi korban-korban arahan media abal-abal yang cenderung mem-bullly, menghakimi, menjadi senjata politik, mematikan karier, dan berbagai kekuatan yang seakan terus berperang untuk menunjukkan taringnya, dan rakyat ikut-ikutan menghujat, juga kaum intelektual terus menghujat, terbodohi oleh doktrin-doktrin politik karbitan. 

"Kolam istana masih keruh," begitulah kata seseorang. Entah sekeruh apa, dan keruhnya bagaimana, masih abu-abu seperti keruhnya. Masih banyak serigala berbulu domba, mengadu-adu biar teradu, tanduk menanduk kebijakan, seakan republik ini menjadi arena, panggungnya kepentingan.

Aku masih di sini, berceloteh dengan hujan untuk segala yang tak tertulis, untuk kata-kata buntu dari kegelisahan, untuk pemberontakan akan sejarah yang buta dan manipulatif. Bagaimana aku berpikir? Dan seperti biasa, aku masih duduk berdiam dengan ocehan-ocehan pikiran. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline