Lihat ke Halaman Asli

Perempuan di Tambang Batu (2)

Diperbarui: 22 Maret 2016   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peluh mengaliri wajahku. Jalan setapak yang panas kulalui tanpa alas kaki. Pandanganku berkunang-kunang. Akhirnya aku tiba di depan sebuah bangunan bercat putih yang sudah mengelupas, tampak bendera merah putih lusuh berkibar di depannya. Halamannya penuh rerumputan liar, menambah kunang-kunang berterbangan dalam pandanganku.

“Tidak bawa kartu?” Seorang pria berpakaian serba putih berujar dengan wajah kesal yang dibuat-buat, seorang perawat puskesmas dengan sebatang rokok di tangannya. Hanya dia satu-satunya di ruangan itu, setahuku ada beberapa perawat bertugas disini, tapi entah kemana sisanya. Itu sudah pemandangan wajar disini. Ia mengarahkan pandangannya ke arahku, perempuan yang sedang hamil, duduk di depannya, menggendongi Siti yang hanya berpakaian kaos oblong, berkolor kumal. Tak sedikitpun ia melirik ke arah anakku.

“Tak sempat, Pak. Buru-buru kesini dari tambang batu,” Ujarku memelas. Kutunjukan kaki Siti yang kudisan dan berdarah, memohon perhatiannya, atau lebih tepat memohon iba hatinya. Siti mengeliat di gendonganku, membenamkan wajahnya di dadaku, desahan lajat menahan sakit rasanya mengiris hatiku.

 “Ibu Reni! Kami tidak bisa melayani kalau Ibu belum membawa kartu. Itu sudah aturan kita disini,” kata pria itu lagi dengan nada sedikit ketus, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, seakan tak peduli dengan keadaan manusia di depannya itu. Tak ada rasa iba seperti yang kuharapkan. Bahkan masih belum beranjak dari kursinya. Sedikit berbeda ketika karyawan-karyawan perusahan yang datang disini, mereka akan dilayani dengan ramah sampai terbungkuk-bungkuk, meskipun karyawan itu datang hanya untuk meminta vitamin atau obatan lainnya, tapi mereka berani membayar mahal.

“Lha, lalu saya harus bagaimana, Pak? Apakah anak saya tidak bisa berobat hanya karena kartu itu? Saya mohon, tolong anak saya, Pak.” Kataku dengan sedikit teriak. Kurasai betapa aku hendak ingin menyembah kakinya, seandainya dia meminta, memohon kepeduliaanya untuk sedikit perobatan anakku yang mulai menggigil di dekapanku.

“Hm, itu sudah peraturan, Bu, lagian obat juga sudah habis,”

“Obat habis?”

“Ya, habis!”

Wajahku bermuram, kupeluk Siti erat-erat di dadaku, duduk terpaku di atas kursi besi, menyandarkan badanku di dinding bercat putih, di atas kepalaku menggantung sebuah plank,  yang di atasnya terlukis jelas ‘Bakti Husada’, dan dibagian bawahnya ‘Melayani masyarakat menuju sehat’. Aku tertegun memandang bentuk logo hijau itu, terlebih tanda di tengahnya yang mirip salib. Sebuah simbol kemenangan, biasa kulihat di gereja tua kami. Aku berdiam lama. Kartu? Yah, sebuah kartu yang tersimpan di lemari butut di rumah papan dengan atap rumbia bocor milik kami. Kartu jaminan kesehatan untuk warga miskin seperti kami, dibagi-bagi ketika ‘Tuan raja’ berkunjung ke pulau kami untuk jalan-jalan, yah, lebih tepatnya untuk jalan-jalan dan melihat-lihat, karena setelah itu tak tahu lagi kemana rimbanya. Hanya baliho kampanye besar yang tertinggal, itupun peninggalan Pemilu tahun lalu dan sudah terkoyak-koyak. Sejak kapan kartu berwarna itu lebih berharga dari nyawa manusia?

“Hm, baiklah, saya bisa sedikit membantu,” ujar perawat itu pelan, nada suaranya mendayu. Aku sedikit curiga dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba, tapi bagaimanapun hatiku sedikit berlega. Betapa susahnya menjadi orang kecil. Seakan tak ada hak untuk sedikit iba dan hidup.

“Anak saya bisa diobati, Pak?” Tanyaku penuh harap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline