Lihat ke Halaman Asli

Torehan Arus Bawah

Diperbarui: 29 November 2015   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jalanan masih sepi, penuh liatan tanah, bercampur sisa hujan. Pemandangan pagi,setelah semalamam layar kaca mempertontonkan Setya Novanto dan Freeport, bersama dengan embel-embelnya, dengan judul: "Papa Minta Saham". Akhirnya perang dingin di mulai, kesempatan di telusupi, bongkar-bongkaran berkedok,ada pemain di belakang layar, ada sutradara yang menyerukan "Cut" pada waktunya. Pengamat hanya mau mengamati, mengolah kata, melempar opini yang dimakan lahap oleh publik. Politisi saling mempertahankan kubu, membuat benteng, kepentingan di tamengi dengan berbagai pembelaan, saling seruduk, ah,lagi-lagi kepentingan, nah, kepentingan siapa? Tak tahu. Tentunya bukan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan Papua, apalagikepentingan Presiden yang "katanya", namanya dicatut dalam rekaman, entah rekaman yang mana, Sudirman Said makin bimbang, garangnya layu, lebih garang Fadly Zon.

Sunyi setelahnya, tak ada suara dari arus bawah, hening. Kenapa hening? Tanya mahasiswa! Kenapa hening. Baru kemarin ada yang kongres jadi biang rusuh di tanah orang, katanya. Main "panah-panahan", bawa senjata tajam, gila. Siapa lagi yang diharapkan? Pilkada serentak di depan mata. Menuai prokontra masa pendukung, berbagai keunikan mewarnai media, perkara-perkara memenuhi meja Mahkamah Konstitusi, KPU, Bapilu, dan embel-embel lembaga lainnya. Mengatasnamakan demokrasi, hak dan hukum. Pesta macam apa ini? Kenapa saling menyikut? Siapalagi yang diharapkan?

Media sosial menjadi ramai, asik mengkritisi di depan monitor dengan akun asli atau para pengecut yang penuh kepalsuan. Menebar isu, fitnah, opini dan amatan yang penuh dengan dasar argumentasi dari balik layar. Bermain-main dengan kata-kata. Mungkin suatu saat akan ada unjuk rasa di depan senayan dengan menggunakan facebook, twiteer, dll. Perubahan tak akan terjadi jika kita tidak turun langsung ke jalanan, menyisir setiap pojok dan bercengkrama. Tidak dengan jemari di atas keyboard membentuk fakta yang tak terlihat. Ah, semakin apatis, semakin tak ada rasa malu, semakin berkurang keyakinan akan keberadaan Tuhan, jika ada yang mempertanyakan neraka, semoga negeri ini bukan berandanya.

Untungnya, Presiden kita tegas, tidak plin plan, meski banyak kepentingan yang hendak menerobos batasan. Untuk saat ini masih bersisa bangga dan hormat, juga keyakinan yang membangkitkan kembali semangat. Kita masih ada, orang-orang baik yang tersisa, entah dimana kita berserak, tak tahu. Pastinya,semangat dan cinta akan tetap ada. Freeport,apapun ceritanya, haruskembali ke Indonesia. Kebenaran akan terkuak, Hei Setya Novanto! Neraka bagimu jika kebenaran itu adalah nyata, kau menjual negeri ini, dan para kroco-krocomu, pembelamu akan di hakimi sejarah. Sebaliknya, akan melibas kaum lain yang mencoba mengecoh arah perhatian publik, bermain di balik layar. Bubarkan saja parlemen, sepertinya tidak diperlukan lagi. Semoga masih ada cinta untuk Indonesia.

 

***

Dalam kegelisahan dan kemarahan. Aku rindu kekasihku, ia membuat hatiku sedikit tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline