Saya jadi teringat suatu acara TV yang host-nya adalah pak GM Sudarta (almarhum) mungkin tahun 1992. Pak GM --semasa hidupnya adalah kartunis Kompas- mengatakan bahwa suatu saat ada lomba karikatur tingkat nasional. Setelah beliau perhatikan dengan seksama peserta lomba, ternyata kebanyakan adalah wong nJowo. Pak GM menyimpulkan bahwa orang Jawa memang punya bakat ndhagel (atau melucu) dibanding dengan suku lain.
Kemarin-kemarin di acara Helmy Yahya bicara, sang pemilik acara mendatangkan Kelik Pelipur Lara sebagai narasumber. Ada satu pertanyaan dari bung Helmy, "Banyak juga ya pelawak dari Jogja. Kok bisa gitu ya ... apa karena orang Jogja suka plesetan, kemudian masyarakatnya lucu dan seneng tertawa".
Jawaban dari Raden Keliek Sumaryoto --nama asli Kelik Pelipur Lara- boleh juga sih. Beliau mengatakan, orang Jogja itu di panggung kelihatan lucu, kehidupan aslinya lebih lucu. Didukung situasi lingkungannya yang lucu dan orang dengan mudah tertawa. Padahal itu perihal yang biasa saja di Jogja.
Namun bagi orang lain terasa sungguh lucu. Menurut Kelik itu unique selling point dari Jogja. Kalau saya pribadi terjemahkan lebih lanjut, itulah cara orang Jogja menyikapi fenomena kehidupan, salah satunya mengungkapkan rasa marah. Dengan tidak marah, tapi malah lucu. Kemungkinan lain, spontanitas orang Jogja yang terasa lucu.
Kelik memberi contoh tentang spontanitas mbah Darmo (pengisi acara "Sulap Selip" saat dulu Kelik dan Helmy Yahya menginisiasi acara Asal Plesetan). Suatu saat Kelik main ke rumah mBah Darmo didatengi anaknya yang minta uang untuk beli soal-soal ujian. Jawaban mbah Darmo sungguh lucu, "Udah tahu keluarga kita banyak persoalan, kok malah disuruh beli soal soal ujian. Mending gurumu beli persoalan hidup kita ini, kan lebih banyak .....".
Contoh lain ketika ada temannya datang melayat. Mungkin temen ini pengetahuan agamanya kurang, kurang tahu "prosedur" melayat, atau juga berarti dia tidak pernah melayat. Si temen ini begitu lihat peti mati --langsung disamperin dan doa disampingnya. Bro Kelik Pelipur Lara udah peringatin dari samping jendela, kalau jangan berdoa dulu.
Tapi itu temen malah agak marah (dikira menganggu kekusyukan orang yang lagi berdoa), ekspresi muka diarahkan ke Kelik. Si temen melanjutkan lagi doa sambil "umak umik" (istilah Jawa untuk menggambarkan mulut yang komat kamit, gerak ke atas ke bawah, ke kiri ke kanan). Mister Kelik Pelipur lara masih peringatkan lagi dengan tangannya goyang-goyang melarang, yang intinya jangan doa dulu, itu peti nggak ada isinya.
Eh sang temen masih tetep ngeyel, dan ekspresi muka menahan marah, yang intinya, "Jangan diganggu! Saya ini sedang doa". Hla kok, setelah itu, beberapa menit kemudian dari dalam rumah ada yang bersuara, "Kanan kanan .... Kiri kiri ... kanan kiri", ternyata pocongnya baru selesai dimandiin, dan akan dimasukin ke kotaknya. Para pengunjung menahan tawa (karena masih suasana duka), si temen keluar lalu pura pura jaga parkir, memandu mobil yang mau melayat, dan kemudian pulang. Malu hehehe.
Dari sejarah --versi Kelik yang namanya sejarah ialah SEtauku JAngan diaRAHkan- banyak pelawak Jogja yang generasi lama sudah mencoba melawak gaya stand up. Keliek PL menyontohkan seperti pelawak Basiyo, mbah Gino, Gepeng Srimulat (dari Solo), dan Ranto Edi Gudel. Untuk bagian pak Ranto ini, Keliek salah sebut. Mungkin karena saking bersemangatnya, ketika menyebut para perintis lawakan ala Jawa, tepatnya ketika ditanya Helmy Yahya soal nama pelawak yang merupakan bapak kandung Mamik Podang (sekaligus ayahnya Didi Kempot), Kelik menjawab dengan pak Pete. Padahal mestinya Ranto Edi Gudel --yang nota bene pelawak legend. Kalau Pete adalah bapaknya pelawak Basuki.
Tapi tidak apa, toh contoh lawakan Pak Pete --yang Kelik masih ingat- sangat amat lucu sekali. Ceritanya pak Pete jadi pembantu di Jakarta, tapi belum mahir berbahasa Indonesia. Sang majikan padahal mau pergi, pak Pete bingung memikirkan bila ada tamu nanti bagaimana bercakap-cakapnya. Sang majikan kasih tau cara mudahnya, yang penting pak Pete menjawab dengan 4 (empat) kata atau kalimat ini. Yaitu pertama: Mari, kemudian "Sedang pergi", berikutnya "Silakan". Terakhir adalah, "Boleh, daripada kedahuluan orang".
Datanglah tamu tersebut. Si tamu berkata, "Permisi", pak Pete menjawab: Mari. Lalu Tamu bertanya:, 'Bapak ada?". Pak Pete menjawab: Sedang pergi. Tamu tanya lagi, "Saya boleh masuk?". Pak Pete bilang, " Silakan". Setelah duduk, tamu kepengin minum, "Saya boleh minum". Jawaban pak Pete: Boleh, daripada kedahuluan orang. (Sampai sejauh ini pak Pete gembira, jawaban terasa memuaskan).