Lihat ke Halaman Asli

Yuniandono Achmad

Dreams dan Dare (to) Die

Menjebak Tikus

Diperbarui: 23 Februari 2020   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari kompas.com

Dari pengalaman menjebak tikus semalam (Sabtu Pon 22 Februari 2020 bertepatan dengan 27 Jumadil Akhir 1441 H) ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Kalau tidak salah ingat, dulu ada scientist bilang bahwa tikus itu mirip manusia. 

Semalam saya buktikan terkait barangkali "adrenalin" tikus. Tahu kan mengapa kalau kita lari biasa, sama lari dikejar tikus #eh dikejar anjing itu beda kecepatannya. Dikejar anjing pasti jauh lebih cepat. Karena adanya adrenalin. Hormon yang muncul mengiringi saat kita rasa was was dan takut.

Tikus yang semalam juga gitu. Saya lihat pada jarak 4 meteran dia mengeliat geliat pengen lepas dari lem. Saya tinggal sebentar, lalu saya tengok lagi, dia masih menggeliat. Beberapa jurus kemudian saya dekati, geliatannya makin cepat. Hla kok saya mendekat banget, dia bisa lepas. Jangkrik, ibarat kata burung punai sudah di tangan... kok dilepaskan.

Bayangpun tikus itu. Tikus coba. Tikus, makhluk sekecil itu, mampu lepas dari jebakan lem (yang saya olesin sendiri di atas beberapa lembar koran). Saya biarin saja. Saya ikhlas. Mungkin memang bukan rejekiku. Namun ajiiiiib. Mungkin karena sikap legowo itu, mengiklaskan yang hilang, kira-kira 1 jam-an kemudian ada bunyi terseret seret di dapur. 

Ternyata.... Ternyata tikus itu ketempelan plastik keresek. Kayaknya nyangkut atau nempel di kakinya. Saya yakin dia mau sembunyi di tumpukan plastik kresek, yang kami taruh di bawah tangga. Mungkin ia masih bisa bergerak-gerak, ke sana kemari. Tapi saat subuh saya lihat, dia tidak bisa lepas dari sapu lidi. Ia terjerembab di dalamnya.

Perkiraan saya, ketika tubuhnya telah menempel plastik, dia berlari ke sono ke sini, lalu nubruk sapu lidi, dan body-nya kembrukan sapu lidi itu. Saya tak mungkin melepas kesempatan itu. Seperti hidup yang kedua. Kayak mukzizat gitu. Then saya ambil gunting taman, dan tubuhnya kujepit dengan penggunting ini. Rontaannya tidak sekuat besi made in china yang kubeli enem taun kepungkur. Sekitar jam 06.30 saya guyur air panas, ia mati.

Saya sebenarnya ragu mengupload tulisan ini. Tikus tikus itu mungkin mengalami evolusi, barangkali dia bisa berdasi. Membaca tulisan ini lalu tikus akan memberitahu tikus lainnya akan kekejaman yang terjadi. Mereka tumbuh dengan cepat laksana "mati satu tumbuh seribu". Mungkin hanya gara-gara sesama tikus renang di selokan perumahan, bisa jadi muncul yunior-yunior tikus baru tanpa pembuahan.

Chairil Anwar di puisinya mengatakan, "Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang". Sementara tikus-tikus itu suka memplesetkan sesuatu, terutama makanan. Tikus akan katakan "Aku ini binatang jalang... jalang tidur jalang makan dan jalang mandi". Mereka bergerak di malam hari. Mereka menggerogoti roti sampai tak berisi. Mereka bau sekali. Tikus-tikus kurang ajar. Bangkainya udah kubakar jauh dari rumah tapi aroma jejak dia masih menggelayut di ruangan ini. Tebar kopi. Tebar kopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline