SUDIRMAN Cup dapat disebut sebagai tolok ukur kemajuan bulutangkis sebuah Negara. Dapat dikatakan demikian karena 5 (lima) nomor yang dipertandingkan merupakan refleksi dari kelima partai bulutangkis. Tunggal putra/ putri, ganda putra/ putri, dan ganda campuran. Berbeda dengan Thomas dan/ atau Uber Cup yang cenderung merefleksikan kemajuan satu atau dua sektor saja dan cenderung bias gender. Bahkan ibaratnya menumpuk 3 (tiga) tunggal dan 2 (dua) ganda yang hanya mencerminkan keunggulan suatu bangsa pada satu aspek saja: pria atau wanita. Kalau sudirman ini cenderung merata.
Maka kalau kita asumsikan bahwa sudirman Cup ini merefleksikan kemajuan peradaban bulutangkis suatu negara maka dari Negara-negara yang lolos perempat final di tahun 2019 ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Benua Asia mengalahkan benua Eropa. Karena dari 8 (delapan) Negara, Eropa hanya diwakili oleh Denmark. Meski perjuangan Denmark ke perempat final mengalahkan sesama Eropah, yaitu Inggris (yang mampu mengalahkan Denmark dengan 3-2).
- Dari Negara Negara sesama Asia, dominasi oleh Negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Asia Timur diwakili Tiongkok, Jepang, Korea, dan Taiwan. Sedangkan Asia Tenggara diwakili oleh Indonesia, Thailand dan Malaysia.
- Dari pertandingan semifinal, Asia Timur mengalahkan Asia Tenggara (Tiongkok mengalahkan Thailand dengan 3-0, dan Jepang mengalahkan Indonesia dengan 3-1). Sebuah kredit poin perlu disematkan kepada Thailand karena pada babak perempat final mampu mengalahkan unggulan 3/4 yaitu Korea (wakil Asia Timur) dengan 3-1.
- Final mempertemukan sesama negara Asia Timur, yaitu Tiongkok dan Jepang. Selain itu, kemenangan lain diraih Tiongkok karena untuk tahun 2021 tuan rumah event Sudirman Cup masih negaranya lagi, yaitu kota Suzhou.
Bagaimana Indonesia?
Prestasi tim kita tercinta sesuai target. Datang sebagai unggulan 3-4, maka lolos sebagai semifinalis adalah sesuai dengan "takaran"-nya. Bandingkan dengan Korea yang kalah di perempat final dengan Negara berperingkat di bawahnya --yaitu Muangthai.
Ada beberapa strategi yang di luar dugaan, maksudnya di luar dugaan dan terhitung agak "payah". PBSI mengutamakan sektor pria, maka tunggal putra membawa 3 (tiga) pemain, dan ganda putra 3 (tiga) pasang pemain. Ditambah ganda campuran yang membawa 3 (tiga) pasang pemain juga. Tim kita mengesampingkan sektor ganda putri dengan hanya membawa 1 (satu) pasang pemain --yaitu Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Walau sebenarnya ada satu lagi pemain ganda putri yang dibawa ke Nanning ini namun tanpa pasangan, yaitu Ni Ketut Mahadewi Istarani.
Padahal kita saksikan selama ini, yaitu selama bermain 4 (empat) kali di Sudirman Cup ini, sebanyak 3 (tiga) kali Polii/ Rahayu menjadi penentu. Pertama saat menang melawan ganda putri Denmark (sehingga kita kalah hanya 2-3, bayangkan kalau Polii/ Apri kalah maka Denmark unggul 4-1 dan kita hanya menjadi runner up grup), kemudian kedua saat melawan Cina Taipei (sehingga bisa 2-2, bayangkan kalau Greysia/ Rahayu kalah maka kita tersingkir di semifinal karena menderita 1-3), terakhir melawan Jepang yang membuat Indonesia tersingkir 1-3 di semifinal. Artinya apa? Sektor yang kita pandang sebelah mata (sehingga hanya membawa tiga pemain) ternyata menjadi penetu. Dari melihat empat kali Indonesia main di Piala Sudirman maka yang selalu bermain --tanpa diganti- adalah ganda putri kita ini. Sedangkan lainnya, yang tidak dimainkan adalah Shesar Hiren Rustovita (tunggal putra), Ketut (ganda putri), Fajar Alfian/ M Rian Ardianto (ganda putra), dan Tantowi Ahmad/ Winny O Kandouw.
Artinya apa? Greysia/ Apriyani menanggung beban berat. Setelah 3 (tiga) kali bermain --dan selalu menang- harus fit untuk menghadapi pasangan nomor satu dunia asal Jepang. Jelas faktor usia tidak bisa dikesampingkan, terutama Greysia Polii. Ketika kalah dari pasangan Jepang -Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara dengan 15-21, 17-21- kunci kekalahan adalah di power. Pertahanan jepang yang bagus mungkin karena power dari smash Greysia (dan Apri) sudah jauh berkurang. Sementara pasangan Jepang ini sudah istirahat dari partai sebelumnya.
Sepertinya kita kurang out of the box. Perlu mencontoh kepada tim Inggris yang bermain dengan 6 (enam) pemain, yang 3 dari 6 pemain tersebut bermain rangkap, mampu mempencundangi Denmark dengan 3-2. Namun saya sendiri menyadari, seperti dulu kata MF Siregar sewaktu menemani tim Thomas 1992. MF Siregar sempat menyesalkan mengapa Alan yang dipasang --kok bukan Hermawan Susanto yang mungkin akan lebih bersemangat. Tapi kilah pak MF, kalau Hermawan dipasang (dan kalah juga melawan Foo Kok keong), maka orang juga akanberpikir: Kok bukan Alan saja yang dimainkan.
Kekalahan sudah harus kita terima dengan lapang dada, saatnya menarik pelajaran dari kejadian di Sudirman Cup ini. Pertama, kembalinya performa the Minions (tiga kali main dan tiga kali menang), setelah beberapa bulan ini gagal juara. Kedua membaiknya penampilan Ginting dan pasangan Praveen Jordan/ Melati, setelah pada babak sebelumnya (saat melawan Denmark) mereka tampil mengecewakan. Ketiga barangkali kita perlu pemain yang bisa bermain rangkap. Semacam Ricky Karanda Suwandi yang bisa bermain ganda putra (dengan Angga Pratama) dan ganda campuran (bersama Debby Susanto). Pemain rangkap diperlukan untuk mengacak susunan pemain lawan, karena yang rangkap akan mendapat privileges, ditaruh di partai pertama dan partai kelima.
Akhirnya kita harap pemain pemain kita yang tergolong muda ini akan mencapai kematangannya 2 dua) tahun lagi. Jayalah bulutangkis Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H