PADA akhir April 2019 ini Presiden Joko Widodo menggulirkan kembali wacana tentang pindah ibukota. Dulu waktu pertama menjabat presiden -barangkali tahun 2015- diskursus tentang pindah ibukota sudah digelontorkan, sekarang diputar lagi.
Zaman presiden SBY juga pernah, bahkan sudah dibentuk tim khusus yang bertugas mengkaji pemindahan ibu kota. Namun, selama dua periode pemerintahannya, hasil kajian tak pernah diungkap menyeluruh ke publik.
Zaman pak Harto, pernah diawacanakan pindah ke Jonggol. Zaman Bung Karno, direncanakan mau pindah ke Palangkaraya, pada tahun 1950-an. Dari googling, bahkan era kolonial Belanda sempat punya wacana memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung (tahun 1916).Ada juga sumber yang menyebutkan mau ke Surabaya.
Sewaktu saya mengambil penataran P4 di fakultas Filsafat UGM tahun 1994, Dr Damarjati Supadjar sudah berbicara terkait ide pemindahan ibukota. Yaitu dari jakarta ke yogyakarta. Kurang lebih argumennya karena Jakarta sudah tidak beradab lagi sebagai sebuah ibukota. Beliau tawarkan jogja -sebagai sebuah kota budaya dan layak menjadi ibukota.
Di kota Yogyakarta banyak simbol kejayaan bangsa yang dapat dimaknai. Dari mulai keberadaan keraton, candi, alun-alun, dan gunung. Apabila dihubungkan dengan ceramah beliau di UNS tentang renaisans (dapat diunggah di you-tube dengan memasukkan kata kunci nama beliau) kejayaan itu bisa berasal dari huruf/aksara jawa. Hanya aksara jawa yang hurufnya "hidup" semua. Ha na ca ra ka ...dan seterusnya
Saya sempat ada tulisan di Fb yang saya susun sendiri pada tahun 2008. Sekali lagi ini tulisan lawas, guys. Bermula dari terinspirasi tulisan ibu Toeti Adhitama di Media Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2008 ("Wajah Sebagian Penduduk Jakarta"), dan Razali Ritonga di harian Kompas, 21 Oktober 2008 ("Urbanisa(nk)si").
Kedua tulisan tersebut secara spirit bertema besar tidak jauh berbeda. Jakarta, seperti kota-kota lainnya di Indonesia, memiliki potensi yang luar biasa, tetapi bisa menjadi "impotensi regional" karena kekuatannya yang hanya mampu menampung 12 juta orang. Padahal PBB dalam World Urbanization Prospects (2006) memperkirakan jumlah penduduk Jakarta sebanyak 13,2 juta jiwa. Jadi ibukota ini sudah melewati daya tampungnya.
Sedangkan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI), 2008, sendiri menyatakan bahwa jumlah penduduk saat ini telah mencapai 8,7 juta jiwa, belum yang tidak terhitung para pendatang yang hijrah dari kampung halamannya pada setiap tahun --bahkan setiap bulan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 2,34 persen per tahun pada tahun 1970/ 1980.
Era Orde Baru cukup berhasil dengan slogannya "Dua Anak Cukup". Kemudian berlanjut ke masyarakat yang rasional pada era reformasi belakangan ini mampu menahan laju penduduk untuk turun menjadi 1,3 persen pada tahun 2006 (BPS).
Dengan laju sebesar itu maka setiap tahunnya Indonesia "hanya" bertambah 3,2 juta jiwa --yang bisa disamakan dengan jumlah total penduduk Singapura, atau penduduk Semarang (Jawa Tengah). Penduduk Indonesia tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa sebesar 128,2 juta, atau 58 persen, dibandingkan total penduduk Republik ini yang mencapai 219,2 juta (BPS, 2005). Dari 128 juta penduduk Jawa, sebanyak 13,2 juta jiwa (atau sepersepuluhnya) menempati ibukota Jakarta.
Kuala Lumpur yang berpenduduk 2 juta dirasa terlalu padat sehingga pemerintahan Malaysia memindahkan ibukota pemerintahan ke Putrajaya. Di negara-negara lain juga dikenal pemisahan antara ibukota Negara dan pusat bisnis (atau ibukota pemerintahan) semacam itu. Australia mempunyai Canberra dan Sydney.