Lihat ke Halaman Asli

Yuniandono Achmad

Dreams dan Dare (to) Die

Ruwat Nama PSSI

Diperbarui: 19 Desember 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk kelima kalinya PSSI gagal di final AFF Cup (Asean Football Federation Cup –yang dulu bernama Tiger Cup). Sejak tahun 2000, 2002, 2004, 2010, dan terakhir 2016. Awalnya membentuk deret hitung dengan selisih 2 (dua) tahun, sampai kemudian selisih menjadi 6 (enam) tahun –yaitu 2004 ke 2010 lalu ke 2016. Bila deret ini berlaku maka tahun 2022 (2016+6) baru PSSI ke final lagi. Semoga tidak. 

Namun walau bagaimanapun bangsa Indonesia tetap harus bersyukur, karena PSSI mampu maju ke final. Saat menang di semifinal (away melawan Vietnam) kita sudah sangat beruntung karena penguasaan bola yang hanya 30 persen –even tetap seri 2-2. Namun tentunya kita tidak boleh membiarkan nanti tahun 2018 si PSSI gagal lagi meraih AFF (apalagi momennya bareng pas Asian Games yang kita menjadi tuan rumah). Tidak harus ganti pelatih yang katanya mau mengontrak Kiatisuk Senamuang (Tha). Karena pelatih sekaliber Peter White (yang sukses bersama Muangthai) juga “hanya” mampu mengantar PSSI menjadi runner up tahun 2004 dan 2006. Mending pelatih lokal yang gagal, ketimbang pelatih asing namun juga tidak berhasil. Minimal kalau pelatih pribumi itu akan ter-shoot teve dengan bangga mampu menyanyikan lagu kebangsaan: Indonesia Raya.

Orang Jawa barangkali akan menyarankan untuk PSSI ganti nama, untuk di”ruwat”, karena mungkin nama PSSI itu keberatan. Perhatikan kepanjangannya: Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Kata “persatuan” bisa dikaitkan dengan keluhan Alfred Riedl yang katanya hanya boleh memanggil 2 (dua) pemain dari satu klub. 

Artinya apa? Ini bukan tim ideal. Semua tidak bersatu untuk mendukung adanya tim terbaik. Bahkan saat rcti menanyangkan live Tha versus Ina, stasiun teve seperti SCTV juga menayangkan pertandingan di Gianyar, Bali, kalau tidak salah antara Persegi gianyar dengan lawannya. Situasi yang tidak mungkin terjadi di liga eropa, karena bila tim nasional mereka main maka pertandingan /kompetisi diliburkan. Riedl jelas punya kendala besar untuk memilih pemain terbaik. Situasi yang berbeda dengan Indra Syafri pelatih PSSI yunior tahun 2013. Indra Syafri sampai naik ojek keliling desa di Indonesia untuk mendapatkan pemain muda terbaik. 

Jadi teringat pernyataan Bung Hatta bahwa ada perbedaan tajam antara persatuan dan persatean. Bung Hatta melihat, daging-daging sate itu bersatu tidak secara sukarela, melainkan dipaksa dengan tusuk sate. Persatuan yang dipaksakan adalah semu dan menipu. Kata Bung Hatta (dikutip dari sebuah blog) : Engkau kira mereka bersatu, padahal hati mereka berseteru. Persatuan ala sate, bukanlah persatuan sejati. Maka ketimbang memakai “Persatean” Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mending ganti nama. Misalnya menyontoh Thailand dengan Football Associaton of Thailand, atau Malaysia (Football Associaton of Malaysia), atau Singapura (Football Associaton of Singapore). Jadinya Football Association of Indonesia disingkat FAI. Dengan catatan belum ada negara yang memakai akronim FAI.  

Makna “asosiasi” (association) atau perkumpulan lebih realistis. Yang artinya ini memang bukan kumpulan orang terbaik, tapi orang-orang yang berkumpul. Jadi bisa saja akronim tetap PSSI namun dengan "P" pertama adalah Perkumpulan -bukan persatuan. Usulan lain misalnya dari Kelik pelipur lara, pelawak jogja. Yang katanya PSSI bisa saja meniru gaya melayu dengan memakai Bola Sepak –ketimbang Sepak Bola. Sehingga singkatan menjadi Persatuan Bola Sepak Indonesia (PBSI), siapa tahu nasibnya lebih baik seperti PBSI yang mampu berprestasi dunia. Tetap semangat bola sepak eh Sepak Bola Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline