Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Hidup Pak Kancil Nir-Amarah

Diperbarui: 10 Januari 2023   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

As salamu 'alaykum orang hebat se Indonesia

Kancil yang akan saya ceritakan bukan tokoh kancil dalam fabel "Kancil Mencuri Timun". Tapi Pak Kancil yang saya maksud adalah salah satu penjual di kantin sekolah. Saya menganggapnya rekan kerja. Bicara dengan Pak kancil seperti berendam di telaga bening. Terlihat jelas bebatuan didasarnya dan segala yang ada didalamnya. Suaranya datar range-nya antara nada fa sol la, tidak do rendah yang membuat telinga begah sampai do tinggi melengking yang membuat kepala pening. Gaya bicaranya tidak bertele-tele, lugu apa adanya. Dia bicara dari hati dengan logat Bahasa Jawanya yang khas Semarangan.  Lelaki gempal pendek itu bertutur tentang menjalani kehidupan.

"Hidup itu dijalani saja. Terima semua ketentuan. Wong semua sudah ada yang mengatur. Jangan sampai  berbuat yang buruk."

Diapun bertutur santai tentang kebohongan,

"Jangan bohong. Saya takut kalau bohong nanti saya dosa. Saya ajarkan anak-anak untuk jujur, ngomong apa adanya. Jan-jane orang yang suka berbohong, ngapusi itu hidupnya capek. Awalnya mungkin orang percaya sama omongannya, tapi kalok terbukti bohong ya lama-lama dibiarkan saja. Apalagi kalok orangnya mbanggel ndak mau dikasih tahu. Wis, jarke wae. Rak usah diurusi. Ngko kan mati dhewe."

Lain kali lelaki kepala lima lebih itu bertutur tentang rejeki,

"Lha jadi orang kok ngoyo. Rejeki ki wis diatur gusti Allah. Ndak selalu yang kerja keras itu pasti rejekinya jadi banyak. Kerja keras itu ikhtiar, soal jumlah itu sudah ada aturannya. Ada orang yang kerja banting tulang, sikil dadi sirah, sirah dadi sikil ya hasilnya segitu-segitu saja. Tapi yo ndak boleh bermalas-malasan, nanti jadi beban orang. Wis, kabeh peparingane Gusti piro-piro iku yo dipakai buat kelangsungan hidup. Itu saja."

Di kesempatan berikutnya lelaki dari beberapa cucu itu bertutur tentang amarah,

"Marah? Buat apa kalau semua sudah ada yang mengatur. Malah membuat dosa. Marah juga ndak bisa merubah keadaan. Tapi anehnya  banyak orang lebih suka marah. Belum mendengar sudah marah. Sudah mendengar, tidak mencari bagaimana menanganinya dengan baik malah marah duluan. Marah pada istri yang mendampingi atau pada anak yang jadi tanggungjawabnya, kan aneh? Saya itu tidak mau marah-marah. Kalau ada yang butuh sesuatu ya dicarikan. Kalau tidak ada ya dijawab tidak ada. Ndak usah mengada-ada wong marah ya ndak bisa membaikkan keadaan."

Saya selalu menikmati tuturannya sambil menyeruput kopi instan dan gorengan. Dua kombinasi makanan yang tidak menyehatkan tubuh bersanding dengan tuturan yang menyehatkan jiwa.

Sehat-sehat ya, Pak Kancil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline