Pesta politik lima tahunan di negeri ini telah dimulai, ditandai dengan dimulainya masa kampanye oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tanggapan masyarakat pun sangat beragam. Tak perlu saya jelaskan di sini bagaima tanggapan beragam itu, karena semua telah viral di sekitar kita. Tapi memang perberbedaan euforia, dibanding pesta politik di tahun-tahun sebelum ini. Mengapa demikian?
Ini karena diberlakukannya pemilu serentak, yaitu antara pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif juga diberlakukannya Presidential threshold, istilah gampangnya adalah batas minimum partai politik atau gabungan (koalisi) beberapa partai politik untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden. Parahnya lagi, standart minimum yang digunakan adalah berdasarkan hasil Pemilu tahun 2014 lalu. Alhasil, kita hanya mendapat dua pasangan presiden di pilpres kali ini.
Baiklah, terlepas dari segala hiruk-pikuk euforia pesta politik di negeri kita ini. Kita perlu membekali diri kita mengenai apa itu pemimpin? Bagi kita (umat muslim) butuh pemimpin yang seperti apa di era kini?
Uswah kita, Rasulullah SAW cukup bagi kita menjadi contoh bagaimana tolak ukur pemimpin yang ideal. Bahkan sebelum beliau diutus menjadi Rasul pun, beliau telah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Saya teringat sebuah kisah disaat beberapa tokoh kaum Quraisy berebut perihal siapa yang berhak memindahkan batu Hajar Aswat. Pada saat itu, ka'bah sedang direnovasi. Batu Hajar Aswat yang berada di sanding Ka'bah pun dipindahkan sementara. Nah, disaat renovasi selesai, di situlah terjadi perebutan tersebut.
Ada 4 orang tokoh yang saling berebut saat itu. Setelah lama berdebat, akhirnya mereka ber-empat sepakat bahwa yang berhak memutuskan ataupun berhak memindahkan batu Hajar Aswat adalah orang yang pertama kali masuk masjidil haram setelah ini. Setalah bersepakat, mereka pun berkumpul di dekat pintu masuk masjidil haram sembari menunggu siapa kira-kira orang yang akan masuk masjidil haram setelah ini.
Beberapa saat kemudian, masuklah Muhammad muda yang saat itu belum menjadi Rasul ke masjidil Haram. Ke-empat tokoh tadi pun langsung menghampiri Muhammad. Salah satu dari mereka berkata "wahai Muhammad, kami telah bersepakat bahwa orang yang pertama kali masuk Masjidil Haram adalah yang berhak memindahkan batu Hajar Aswat ke tempatnya semula." Muhammad pun tak berkata apa-apa, beliau langsung menghamparkan serbannya di dekat Hajar Aswat. Setelah itu, beliau meminta setiap orang dari ke-empat tokoh Quraisy tadi untuk masing-masing memegang ujung serban itu.
Awalnya,ke-empat tokoh tadi merasa bingung, apa yang akan dilakukan Muhammad ini? Setelah itu, Rasulullah sedikit menyingsingkan lengan pakaiannya dan perlahan-lahan beliau mengangkat batu mulia, Hajar Aswat tersebut dengan tangannya yang mulia pula dan ditaruh di atas serban yang tadi beliau hamparkan. Lalu, Rasulullah meminta ke-empat orang tadi untuk mengangkat serban yang diatasnya ada batu mulia, Hajar Aswat untuk dibawa ke tempat asalnya, yaitu disanding Ka'bah.
Coba kita ambil intisari dari kisah di atas. Lihat bagaimana jiwa kepemimpinan Rasulullah muda. Beliau sudah memiliki jiwa Al-Amin. Beliau mampu menyelesaikan sengketa tanpa ada pihak manapun yang merasa dirugikan. Dan beliau mampu mempersatukan empat tokoh kaum Quraisy.
Kepemimpinan Rasulullah yang seperti kisah di atas masih sangat mudah untuk ditiru para pemimpin Islam di era kini, utamanya di Indonesia. Negeri kita ini butuh pemimpin yang Amanah, tidak egois, selalu siap untuk mencegah ataupun menyelesaikan sengketa dan mampu menyatukan bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Beberapa waktu lalu, saya sempat mempelajari perihal kompetensi guru BK. Memang sekilas tidak ada relevansi atau sangkut paut antara guru BK dan pemimpin. namun, guru BK menurut Hamzah B. Uno setidaknya harus memiliki tiga kompetensi dasar, yaitu kompetensi Sosial, kompetensi Profesionalitas, dan kompetensi Pribadi. Ke-tiga kompetensi (kemampuan) tersebut juga harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kompetensi Sosial