Hidup sebagai janda di perkampungan memang banyak makan hati. Sebenarnya rumahku terletak di Kota Yogyakarta dan jarak ke Malioboro tak lebih dari empat kilo. Tetapi penduduk asli di wilayah tempat tinggalku masih berpikiran tradisional. Segala sesuatu yang di luar mainstream tidak bisa diterima. Aku menjanda sudah lama ini pun menjadi masalah buat mereka.
Seorang kakek usia enampuluhan selalu saja usil bertanya, " Kenapa nggak nikah lagi? Cari sana teman-teman kerja yang duda !"
"Nggak ada Pak," jawabku enteng.
"Kamu kurang usaha. Apa nggak pengin ada teman berbagi suka duka ? Udah nggak ingat lagi rasanya tidur sama laki-laki ? Nggak pengin lagi?"
Duh, Si Kakek ini makin menjadi-jadi memprovokasi aku untuk menikah lagi. Apa dipikirnya menikah itu semudah membalikkan telapak tangan? Menikah bukan lomba lari yang beradu cepat mencapai garis finish. Apalagi menikah lagi bagi janda cerai sepertiku. Banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan menikah lagi. Banyak cerita kudengar tentang kemalangan janda yang menikah lagi. Bersedia menikah dengan lelaki mapan dengan harapan akan bahagia dengan kondisi perekonomian yang lebih baik. Tidak disangka suami barunya cuma modal badan. Harta yang dimiliki ternyata sudah menjadi hak anak-anaknya.
Tidak hanya Si Kakek yang gencar menginterogasiku sudah sampai mana usahaku mendapatkan calon suami baru. Masih ada Si Nenek usia tujuh puluhan yang juga sering membujukku untuk menikah laki.
"Kamu kan orang berpendidikan pasti mudah cari suami baru. Hidup itu tidak bisa sendiri terus. Butuh teman hidup."
Kubalas dengan wajah pura-pura memelas, "Iya Mbah doakan saja !"
Masih kuingat reaksi seorang ibu yang kebetulan duduk di sampingku waktu acara pengajian menjelang pernikahan yang digelar salah satu tetanggaku. Malam itu aku datang memenuhi undangannya lalu duduk di kursi-kursi yang telah disiapkan sambil menunggu ustaz yang akan memberikan tausyiahnya. Seorang ibu yang duduk di sebelahku tidak kukenal. Kelihatannya dia tamu jauh yang tidak berasal dari wilayah tempat tinggal kami.
Dia menanyakan namaku tapi ketika kusebutkan namaku wajahnya berubah. "Nama suaminya siapa?" Rupanya jawabanku salah menurutnya. Namaku tidak berarti. Dia membutuhkan nama laki-laki sehingga yang ingin didengar adalah "Bu Andi " atau "Bu Arman" bukan "Bu Yuni" atau "Bu Tanti."
"Saya sudah bercerai Bu," sahutku datar. Reaksi ibu itu sungguh luar biasa.Wajahnya langsung berubah seolah tersulut amarah. Dengan spontan dia melengos ke arahku lalu tak lagi berkata-kata sampai pengajian selesai.