Sumber : metrowestdailynews.com
Sinta membuka jendela apartemen yang baru dihuni selama musim semi ini. Semilir angin dingin menerpa wajahnya. Sweet smell of spring menyebar bersamanya. Aroma pollen, serbuk sari bunga-bunga, adalah bau khas musim semi yang selalu dirindukannya. Dihirupnya sesaat sebelum matanya menangkap pemandangan di seberang jalan. Pohon blossom chery berjajar rapi di kanan kiri jalan mengakhiri hamparan rumput yang terbentang dari sisi luar pagar apartemen. Daunnya datar sebesar telapak tangan berwarna hijau. Bergoyang pelan seirama tiupan angin. Blossom Chery berdaun pink menjadi sesuatu yang sangat istimewa karena hanya ada di Wolcott Park dan sebagian kecil wilayah Connecticut. Orang-orang datang ke sana hanya untuk melihatnya.
"Minggu ini aku dapat shift pagi," suara Ratri terdengar dari ambang pintu kamarnya. Sinta mengenalnya hampir setahun sejak mereka masih tinggal di Pittsburgh tetapi baru setelah pindah ke Hartford mereka tinggal satu apartemen.
Sinta dan Ratri bekerja di Dan's Shell. Itu semacam jaringan mini market di sekitar area pompa bensin. Di sana Ratri menjadi pelayan toko yang sering juga disebut convenience store oleh penduduk lokal. Dia melayani pembeli yang memerlukan snack , minuman atau rokok. Biasanya mereka ke sana setelah mengisi bensin. Sementara itu Sinta bertugas di pompa bensin. Dia tak akan mau melakukan pekerjaan seperti itu di Indonesia apalagi di Yogya, tempat keluarganya tinggal sekarang. Tetapi di sini tidak ada pilihan lain.
Sama seperti dirinya, Ratri yang berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Timur datang ke Amerika dengan tujuan berburu dollar untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Bedanya Ratri belum menikah meski usianya tiga lima sedangkan Sinta sudah berkeluarga. Sinta tiba di New York City setahun yang lalu dengan visa turis yang hanya berlaku selama enam bulan atau paling lama setahun. Padahal sejak awal dia berniat mendapatkan pekerjaan di Amerika yang akan memberinya banyak uang. Menurut perhitungannya setelah enam bulan dia bisa membawa Suami dan anaknya untuk tinggal di negeri impiannya. Harapan itu kelihatannya makin jauh dari jangkauannya. Sebagai pekerja illegal dia berpindah-pindah tempat memburu bayaran yang sepadan untuk low skill job. Dari New York, Ohio , Pittsburgh lantas ke Hartford setelah mendapat telpon dari kenalannya sesama pekerja illegal dari Indonesia. Tetapi low skill job hanya akan mendapatkan low payment. Baik Sinta maupun Ratri harus rela
dibayar rendah meskipun masih terbilang tinggi dibandingkan bayaran rata-rata pekerja di Indonesia. Setiap bulan mereka bisa mengirim uang secara rutin kepada keluarganya. Setidaknya Sinta bisa meringankan beban Eko dalam membesarkan Dina. Suaminya itu hanya bergantung pada jasa servis elektronik yang dibuka setiap hari di sekitar Pasar Demangan Yogya. Penghasilannya tidak menentu padahal kebutuhan sehari-hari tak bisa menunggu. Seiring pertambahan usia kebutuhan Dina juga meningkat. Apalagi sekarang sudah kelas enam yang artinya membutuhkan lebih banyak biaya untuk ikut les-les sebagai persiapan menghadapi ujian akhir sekolah.
"Aku nanti shift siang," kata Sinta kemudian sambil merapikan meja di ruang tengah. Gelas dan mangkok yang tertinggal di sana dibawanya ke bak cuci. Ratri akan mencucinya nanti sebelum mandi. "Tapi jam sembilan ini aku jadi nanny . Lumayan buat nambah-nambah."
"Berapa jam ?" Ratri mulai menghampiri bak cuci ketika bertanya.
"Empat," jawab Sinta yang kini mulai menyedot debu dari karpet ruang tengah dengan vacuum cleaner tangan. Agak bising tapi masih kalah dengan suara musik dari kamar Ratri. " Kecilkan suara tape-nya Tri ! Ingat ini di Amerika. Kalau ada yang complaint lalu menelpon polisi kita bisa mendapat masalah." Ratri menurut meskipun setengah bersungut-sungut. Teriakan lagu Jamrud terdengar samar-samar di antara suara vacuum cleaner.
"Mbak, aku ditawari kerja di restoran. Bayarannya lebih besar. Mungkin bulan depan aku mulai kerja di sana."
"Bagus itu. Masih ada lowongan lagi?"