Hening di sekitar sungai kecil itu. Angin cuma berani berbisik meninggalkan risik di sela dedaunan. Pokok-pokok perdu bergoyang seirama angin. Lantas hening kembali menyusup ke beningnya air sungai. Merambati pancuran bambu di antara dua batu besar berlumut tipis. Kucuran air yang terus menerus tercurah menyatu dengan air sungai menjadi satu-satunya lawan bagi keheningan.
Tak sampai sepuluh langkah dari kali terdapat jalanan menanjak menuju bukit kecil yang tak seluruh permukaannya tertutup rumput. Ada ornamen lain terbentuk dari tanah merah yang luput dari tumbuhnya rumput. Ornamen itu berupa lingkaran atau bentuk geometri lainnya yang tak beraturan. Tetapi bukan itu yang akan menarik perhatian orang. Sebuah batu ceper berwarna hitam selebar dudukan dua orang dewasa ada di atas bukit itu. Yang lebih menarik lagi, sesosok tubuh perempuan duduk dengan mata terpejam di atasnya.
Angin yang hanya berupa risik tak mampu mengusik keheningan yang merasuki jiwa perempuan muda itu. Baru dua puluhan umurnya tetapi dia ada di atas batu tempat bertapa Ratu Kalinyamat berabad-abad yang lalu. Ratu yang tidak hanya cantik tetapi penuh kekuatan dan kekuasaan. Pernah mengirimkan armada perang ke Malaka dan memberikan bantuan pasukan dalam perang Mataram. Tak salah jika pada masa itu Portugis memberi julukan Rainha de Jepara, Senora Pade Rosa se Rica.
Nanti malam adalah malam Jumat Wage. Meski masih sore begitu banyak perempuan muda yang berdatangan ke sekitar pancuran. Semuanya perempuan muda di bawah tiga puluh. Mereka beramai-ramai menuju sungai. Mengganti pakaiannya dengan kain yang dililitkan sampai ke dada lalu bergantian mandi.
Tidak hanya membasahi tubuh dengan air sungai tetapi merasa wajib membasuh muka dengan air pancuran. Basah kuyup namun tak membuat nyalinya ciut untuk meneruskan jejak kaki mereka mendaki ke atas bukit. Meski jelas-jelas sudah ada sosok yang mematung di sana, sisa dudukan di batu ceper hitam itu mengundang mereka untuk bergantian duduk. Hanya sekedar ingin merasakan sensasi duduk di batu perekam kisah kepiluan seorang ratu yang memendam amarah.
Lamat-lamat mengalun tembang di antara gemericik air dan bisikan angin menjelang senja. Entah dari mana asalnya. Jauh dan samar dalam suara tanpa wujud. Membuat para perempuan muda itu hanya saling pandang lalu semua diam seakan terlena. Memandang langit jingga di kejauhan menjadi pelarian sementara.
Nimas Ratu Kalinyamat
Tilar pura mertapa aneng wukir
Tapa wuda singjang Rambut
Aneng wukir Donorojo
Aprasapa nora tapih-tapihan ingsun
Yen tan antuk adiling Hyang
Patine sedulur mami
Kanthi adalah perempuan muda yang masih duduk terpejam di atas batu . Alunan tembang itu telah menyihirnya dalam kenikmatan tidur yang lelap hingga kehadiran serombongan perempuan di sekitarnya tidak mengganggunya sama sekali. Dia bahkan terlihat serupa patung hidup bagi pengunjung yang datang bergantian di atas bukit. Kembang kempis dadanya menunjukkan kehidupan pada raganya tetapi kesadarannya milik alam yang tak terjangkau oleh mereka.
"Apa yang kau inginkan Nduk ?" ada suara perempuan menyambutnya di pelataran luas beraroma kenanga. Jajaran pohon dengan batang sebesar tubuh lelaki dewasa menjulang tinggi di sisi kanan kiri pelataran memberi keteduhan bagi siapa saja yang berada di sana.
"Aku ingin secantik Kanjeng Ratu Kalinyamat," tuturnya lirih menyembunyikan rasa malu yang menyergapnya sesaat.
Ini hari ke empat puluh Kanthi bertapa di atas bukit pertapaan Sonder. Niat yang kuat untuk mengubah kehidupan keluarganya mendorongnya melakukan penyerahan diri kepada alam meminta jawaban Sang Pencipta. Membiarkan cuaca panas dingin melibasnya siang malam tanpa menyurutkan niat menuntaskan laku yang dipilihnya. Laku yang diajarkan para leluhur kepada perempuan di desanya. Menurut mereka, laku dengan cara bertapa selama empat puluh hari di bekas pertapaan Ratu Kalinyamat menjanjikan kecantikan alami yang tak akan pudar oleh waktu.
"Kecantikan adalah senjata utama perempuan untuk mendapatkan segalanya bahkan untuk menguasai dunia," kalimat seperti ini pernah diucapkan Bapak beberapa waktu lalu. Bapak yang kini hanya bisa bekerja di sekitar rumah sejak pandangannya kabur dan kecelakaan membuat kaki kanannya tersisa setengah. Kornea matanya tertutup selaput putih tipis. Mungkin itu katarak. Kanthi tidak punya cukup uang untuk membawanya periksa ke dokter. Bapak juga tidak terlalu risau dengan penurunan fungsi penglihatannya.