Lihat ke Halaman Asli

Ineke Zandroto

Ibu Pembelajar

Luka Sedalam Cinta

Diperbarui: 1 Agustus 2021   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu guru anakku mengabarkan bahwa anakku akan tampil dalam sebuah acara teater bertema Sumpah Pemuda. Ia berperan sebagai WR Supratman. Setelah dikirimi gambar bagaimana kostum WR Supratman, aku mulai mencarinya. Ternyata menemukan kostum yang mirip dengan yang diinginkan menjadi perjuangan tersendiri. Mulai dari peci, kaca mata bulat sampai setelan jas lengkap buat ukuran anak usia 9 tahun. Mencari di tempat persewaan juga tidak ada. Aku sudah berkeliling mencari dan meminta keringanan pada gurunya jika sampai waktunya belum juga menemukan kostum yang mirip.

Setelah mencari tiap hari, akhirnya kostum lengkap baru didapat di jam-jam terakhir menjelang pementasannya. Aku dan ketiga anakku  lainnya meluncur ke gedung pementasan. Anakku yang pentas sudah lebih dulu dengan teman-teman dan gurunya. Gedung yang megah dengan gemerlap lampu, membuat kami para orang tua yang menyaksikan agak cemas, akankah jalannya pentas akan lancar, secara ini adalah pentas pertama mereka di luar sekolah dan disaksikan oleh orang umum. Agaknya tidak hanya anak-anak yang tegang demam panggung, aku yakin, semua kru yang terlibat juga merasakan hal yang sama, tak jauh beda dengan kami para orang tua yang duduk di depan panggung.

Pentas nyatanya berjalan lancar. Tiap adegan dilalui dengan baik dan meriah. Semua terharu dan bangga menyaksikan anaknya bermain perannya masing-masing. Dan aku juga demikian, menunggu di tiap adegan kapankah anakku WR Supratman muncul dengan gagah, memakai jas lengkap, kaca mata bulat dan membawa biola saat akhirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan. Sesekali anakku mengintip dari samping gedung memastikan aku masih menunggu penampilannya dengan semangat. Tentu saja Nak! Jika aku bisa menunda berkedip, kan kulakukan hanya ingin tak melewatkan penampilanmu.

Tunggu punya tunggu ternyata hingga akhir pentas anakku tidak muncul di panggung. Wah, ada apa ini? Apa dia demam panggung sampai tidak mau tampil? Tapi rasanya itu bukan karakternya. Ia anak pemberani. Atau ia ngambek? Ia berkelahi? Atau sakit? Jika sakit mengapa aku tidak diberi tahu? Ah. Aku tidak menemukan jawaban yang bisa memuaskan hatiku. Aku menerobos penonton yang sudah bubar. Sebagian sedang berfoto-foto dengan keluarganya dengan kostum penampilan dan berlatar belakang panggung. Semua bahagia, semua bangga.

Dengan setengah berlari aku  menuju belakang panggung. Sebelumnya kusuruh kakak pertamanya untuk mencari dimana adiknya. Akhirnya kami menemuinya di tangga panggung sendiri,masih berkostum lengkap, menangis sesenggukan, berurai air mata. Masya Allah...ada apa ini? Anakku ini anak yang pemberani, ia bukan anak yang cengeng.  Saat aku tanyakan, ia hanya berkata,"Sia-sia semua. Percuma sudah latihan." Sambil terus menangis dan terus mengulangi kata-katanya di sela isak tangisnya.

Aku yang sama sekali tidak menyangka dan tidak memahami situasi hanya berusaha menenangkan anakku. Aku peluk dia. Ia berontak. Ia kelihatan marah dan kecewa sekali. Aku terus berusaha menenangkannya dan bertanya ada apa, tapi kelihatannya ia masih sangat sesak untuk menceritakan apa yang terjadi. Ia hanya menangis dan menangis hingga bahunya berguncang. Baru kali ini aku melihatnya begitu kecewa hingga seperti ini.

Aku lihat sekeliling. Tambah  lagi kebingunganku karena semua tampak tidak ada yang peduli. Semua kru sibuk membereskan panggung. Aku temui gurunya sekaligus sutradara pentas barusan dan mempertanyakan ada apa. Dan ini benar-benar diluar perkiraanku. Aku kenal bagaimana gurunya. Beliau orang yang terbuka untuk masalah siswanya. Dan jawaban gurunya juga tidak kalah membuatku tercengang.

"Maaf, Bun, saya belum bisa menceritakan sekarang." Sambil terus beres-beres dan matanya berkaca-kaca! Lengkap sudah kebingunganku.

Baiklah...aku sudah bisa meraba permasalahannya: berat! Meski aku belum mengetahui apa masalahnya. Hanya yang aku tangkap adalah, ini sangat membuat sang guru beserta kru dan juga anakku shock. Aku harus bersabar. Membiarkan semua menenangkan hatinya. Aku harus menahan emosi dari rasa ingin tahuku. Aku balik kanan. Aku temui anakku, si WR Supratman. Ia masih terduduk di tangga dan masih menangis tersedu. Dan aku masih terus bertanya hanya bisa dalam hati,  "Ya Tuhan...ada apa inii....?"

Aku rayu anakku untuk mau beranjak pulang. Hari makin larut malam. Ia mulai mau dipeluk. Aku gandeng bahunya. Gedung sudah mulai sepi. Tinggal para kru yang masih membereskan properti. Sepertinya merekapun tak sanggup menatap kami.  Kami pulang dalam diam. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kulihat di spion ketiga anakku yang lain sudah tertidur. Hanya anakku si WR Supratman yang masih terjaga melemparkan pandangan kosong ke luar jendela. Seolah ia ingin membuang kekecewaannya jauh-jauh dalam gulitanya malam. Menghilangkan bagian waktu yang baru saja ia alami.

Sampai di rumah, semua langsung tertidur. Kubuka aplikasi hijau, membaca beberapa pesan sementara anakku mendekatiku. Ia tak bisa tidur katanya. Ia masih berpakain lengkap. Ia ingin ditemani. Aku antar ke kamarnya. Aku ambilkan baju ganti dan ia mengganti pakaiannya dengan malas. Kubantu ia melepaskan jasnya, dasinya, kaos kakinya. Aku temani ia di sampingnya.  Kuusap kepalanya. Sesaat kemudian ia tertidur, dalam sedih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline