Lihat ke Halaman Asli

Mengukuhkan Fungsi Jamkesmas

Diperbarui: 14 September 2015   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Progran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang digagas SBY yang dalam pemerintahan yang sekarang menjadi jamkesmas seharusnya menjadi program unggulan pada pemerintahan siapapun karena program ini akan memiliki efek strategis dalam menciptakan ketenangan bagi bangsa ini secara menyeluruh dan tentunya dapat menciptakan semangat dan kreativitas yang positif dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak ada jaminan dasar yang pasti terhadap keluarga yang mengalami musibah ‘sakit’ maka efek yang ditimbulkan dalam keluarga akan panjang karena kondisi keluarga yang terkena sakit akan menggangu kestabilan emosi, ini yang menimbulkan guncangan baik bagi si sakit maupun pihak keluarga lain. Tidak jarang si sakit yang merasa ekonominya pas pasan bergumam ‘daripada dirawat lama di rumah sakit dan akan membebani keluarga mending cepat mati saja’. Permasalahan seperti inilah yang seharusnya menjadi domain pemerintah dalam merancang program jamkesmas.

Hemat saya jika pemerintah ingin betul-betul mendahulukan fungsi layanan dasar kesehatan ke masyarakat mestinya mekanisme jamkesmas disederhanakan saja misal dengan membuat kebijakan ‘siapa saja warga negara Indonesia yang berobat ke seluruh instansi kesehatan pemerintah baik puskesmas maupun rumah sakit dengan layanan kelas 3 cukup dengan membawa KTP dan NPWP kepala keluarga, semua dilayani gratis. Tidak ada perbedaan layanan baik yang mampu maupun tidak mampu yang penting mereka memenuhi kewajiban pajak untuk mendapatkan layanan kelas 3 itu.

Penyederhanaan ini tentunya akan memangkas pengeluaran yang tidak diperlukan semisal dana cetak kartu, administrasi dan macam-macam itu yang bisa saja menjadi ‘proyek tersendiri’. Hal tetek bengek yang timbul tidak disadari mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dari APBN padahal hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan penanganan penyakit yang diderita pasien. Belum lagi jiwa sosial dari aparat kesehatan yang sudah ikhlas dengan sumpah jabatannya secara naluriah sebagai PNS akan terganggu disebabkan bakti mereka dalam melayani pasien dimanfaatkan sebagai ‘peluang bisnis’ bagi badan lain yang terbentuk atas nama ‘layanan kesehatan masyarakat’. Akan lebih baik menggandakan jumlah rumah sakit, para medis dan dokter dan meningkatkan pendapatan mereka ketimbang memperbanyak pengawai di badan yang muncul sebagai unit usaha dari anggaran yang dikeluarkan APBN.

Model yang dilakukan saat ini justru menimbulkan ‘ketidak ikhlasan’ serta akal-akalan dari pihak-pihak yang terkait karena prosedur yang semestinya tidak perlu ada dan menimbulkan kerumitan. Saat ini isue yang mengemuka bukan hanya kerumitan administrasi tapi sudah mulai pada keluhan dari para dokter tentang jasa yang diberikan terhadap penanganan pasien ‘jasa parkir mobil saya di pinggir jalan lebih mahal ketimbang jasa yang dibayarkan pada saya saat menangani pasien yang dibayarkan BPJS’ itu curhatan seorang dokter di media sosial.

Mungkin ada yang berpikir nanti rumah sakit akan kewalahan karena akan banyak orang yang berobat !!!, tidak mungkin pemerintah sanggup mengkaver dari APBN. Jika ada yang berfikir seperti itu apa lagi posisinya di pengambil kebijakan baiknya mundur saja karena itu cara berpikir yang sempit bahkan memalukan.

Jika ingin menghidupkan layanan asuransi kesehatan sebagai bentuk usaha seharusnya badan-badan yang sudah ada tetap berfungsi seperti dulu yang sudah ada semisal ASKES, Jamsostek dll. Asuransi kesehatan swasta yang jangkauannya adalah pribadi yang mampu atau perusahaan untuk layanan premium rumah sakit dengan tingkat kenyamanan yang lebih semisal yang dilakukan rumah sakit swasta. Keluhan yang sering disampaikan saat ini terhadap jamkesmas adalah pelayanan untuk yang bayar premi tidak lebih baik dibandingkan dengan layanan ASKES Silver dan yang Gold yang pernah ada sehingga perusahaan merasa kurang ‘mendapat support’ dari sistem baru ini padahal premi yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan sistem yang dulu.

Jika diamati kecenderungan yang terjadi dalam pengelolaan APBN, kita akan menemukan bentuk pola dimana pemerintah memposisikan diri sebagai perantara terhadap proyek yang lahir dari anggaran yang diusulkan. Program kegiatan dilelang atau dijalankan oleh badan atau pihak swasta meski terkadang program yang digulirkan sebenarnya sangat mungkin dapat dijalankan di departemen atau unit pelayanan yang sudah ada. Jika ditangani oleh badan usaha atau atau swasta sudah barang tentu orientasinya adalah mendapatkan keuntungan dari anggaran yang disediakan negara melalui APBN itu. Mungkin latar belakangnya adalah agar profesional dengan hasil yang terukur, namun kerap kali dalam pelaksanaannya tidak se ideal yang dibayangkan. Tak jarang ada permainan kotor terjadi bahkan saat ini istilah-istilah negatif sering terdengar yang konotasinya tidak jauh dari gratifikasi dan korupsi . Jika pengendalian terhadap hal seperti ini tidak dilakukan maka kita akan melihat jalannya program itu hanya akan baik di atas kertas sebagai bentuk statistik dan pelaporan namun dampak nyata program itu tidak menyentuh substansi yang dibutuhkan masyarakat .

Menilik dari kenyataan-kenyataan yang ada sebagai hasil kerja di birokrasi, jika konsepnya tidak dikembalikan pada tujuan mulia 'layanan terhadap masyarakat' , disangsikan amanat undang-undang dasar yang merupakan nafas dari preambulnya itu benar-benar menjadi motivasi penyelenggara negara yang ada pada saat ini. Jika ini tidak juga disadari kita berdo’a saja ekonomi negeri ini tidak makin terpuruk akibat hutang negara makin bertumpuk karena kegiatan usaha yang dilakukan mayoritas hanya menggerogoti APBN bukan menjadikan APBN untuk memberikan support pada bangkitnya industri dan sektor riil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline