Perdebatan yang terjadi di medsos dan media konvensional belakangan ini cukup membuat telinga kita memerah. Menurut hemat saya, perdebatan yang terjadi sudah tidak lagi obyektif. Perdebatan yang terjadi sudah terlampau subyektif. Hal-hal yang seharusnya menjadi ranah privat ditarik ke ranah publik. Akibatnya perdebatan yang terjadi tidak akan pernah mencapai titik temu. Perdebatan akan usai manakala masing-masing pihak dapat menahan diri. Saya bukannya anti debat. Justru saya sangat menyukai debat, sepanjang adu argumen yang terjadi adalah argumen yang dikemukakan secara logis dengan didukung data-data yang dapat diverifikasi kebenarannya. Prasyarat ini tidak terpenuhi dalam polemik yang terjadi di medsos belakangan ini. Oleh karena itu saya memilih untuk menjadi silent reader atas perdebatan yang terjadi sembari menyeruput manisnya susu jahe hangat di ANGKRINGAN.
Angkringan, ya, angkringan.
Setiap orang yang pernah tinggal atau sekadar mampir ke Jogja pasti tahu angkringan. Di Solo, warung sejenis ini disebut sebagai 'warung hik'. Di Jogja, istilah angkringan lebih populer, meskipun yang disebut angkringan ini tidak pernah seragam. Ada berbagai macam varian dari angkringan, mulai yang menggunakan gerobak pikul sebagai wahana display aneka makanan yang disajikan, angkringan model 'Bayat', hingga angkringan kekinian yang dikemas serupa café.
Tidak ada definisi yang pasti dan mutlak mengenai apa yang disebut sebagai angkringan. Sepanjang di dalamnya tersaji minuman hangat maupun dingin, jahe hangat, sego kucing, gorengan, dan beraneka sate jeroan, setiap warung berhak menamai dirinya angkringan. Meskipun tidak pernah ada kesepakatan mengenai definisi angkringan, namun tidak pernah ada pula pedagang angkringan yang menuding pedagang angkringan dengan konsep yang berbeda sebagai 'bukan angkringan' atau 'angkringan kafir'. Mungkin begitulah seharusnya menjadi Indonesia. Asalkan di dalamnya punya rasa kebangsaan yang sama, merasa bertanah air satu, dan menjunjung tinggi Bahasa persatuan, semuanya berhak menyebut dirinya Indonesia. Sehingga tidak ada lagi yang menuding sesamanya manusia sebagai 'bukan manusia Indonesia' atau 'kafir'.
Bicara soal angkringan, apa yang menjadi daya tarik utama dari warung angkringan?
Banyak pendapat soal ini. Yang pertama adalah soal makanannya. Angkringan yang punya makanan yang 'khas', seperti kopi joss di angkringan di sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta, banyak diburu pembeli. Orang jadi penasaran untuk mencicip rasanya minum kopi yang dicelup arang yang membara, yang mungkin sulit dijumpai di tempat lain. Yang kedua adalah soal suasana atau tempatnya. Sebuah angkringan di sebelah selatan Rumah Sakit Panti Rapih atau angkringan di daerah Wijilan, misalnya, ramai dikunjungi karena tempatnya yang enak untuk sekadar kongkow-kongkow atau bercengkerama bersama rekan sekomunitas. Dari segi makanan mungkin keduanya biasa saja, namun suasana yang ditawarkan membuat pengunjung betah berlama-lama dan akhirnya menjadi tempat favorit untuk dikunjungi.
Nah, faktor ketiga adalah faktor 'bakul' alias si penjual angkringan. Jenis angkringan yang satu ini bisa jadi hanya menjual makanan standar angkringan dengan rasa yang biasa-biasa saja, dan lokasinya bukan tempat yang enak untuk nongkrong. Tapi keberadaan si bakul angkringan ini membuat angkringan yang bersangkutan diburu oleh pembeli. Angkringan jenis ini menghadirkan atmosfer kekeluargaan yang hangat, dan membuat pelanggan serasa bertandang ke rumah sendiri. Biasanya ide-ide nakal banyak lahir dari angkringan yang mengandalkan pesona 'bakulnya'. Tak kurang, di majalah "Praba", ada seorang penulis bernama Y. Siyamta yang menggunakan angkringan sebagai sumber inspirasinya.
Si bakul angkringan di sini terkadang berperan seperti host acara talkshow “Kick Andy” yang pastinya sudah akrab di telinga kita. Dalam acara “Kick Andy”, sang host, Andy Noya, bukanlah sosok yang utama dalam talkshow. Narasumber yang hadir adalah fokus utama dari acara tersebut, sehingga posisi host sebenarnya bisa di-kick, dan dinamailah acara talkshow ini dengan nama “Kick Andy”.
Demikian pula posisi si bakul angkringan. Tugasnya hanyalah melayani pembeli, sambil sesekali menimpali pembicaraan si pembeli. Biasanya si bakul angkringan menjadi sosok yang 'tersia-sia' dalam arti konotatif, karena jadi bahan bulan-bulanan pembelinya. Namun justru karena jadi bahan bulan-bulanan inilah tercipta interaksi yang tidak terduga dari orang-orang yang jajan di angkringan.
Biasanya salah seorang pelanggan mulai meledek si bakul angkringan, yang kemudian ditimpali si bakul, dan ditimpali lagi oleh pelanggan lain, yang mungkin awalnya tidak saling kenal. Lalu akhirnya tawa meledak dan topik 'bully' terhadap si bakul angkringan beralih ke hal-hal yang lain. Tak jarang pelanggan satu dengan yang lain, yang awalnya tidak saling kenal, mendadak bertemu, berbasa-basi, hingga akhirnya berbicara tentang bisnis atau profesi yang ditekuni, yang semuanya diawali dari saling 'bully' dengan si bakul angkringan.
Si bakul angkringan sendiri harus menempatkan diri sebagai sosok yang tidak 'over-sensitif' karena kadang bully-an yang dia terima agak kelewat batas. Semua ia tanggapi dengan fun, dan pada akhirnya tidak ada yang merasa tersakiti, karena justru yang tercipta adalah suasana yang hangat dan penuh canda tawa. Maka jadilah ia persis seperti Andy Noya dalam acara Kick Andi. Namun kali ini host-nya adalah si bakul angkringan, sehingga acara malam-malam penuh keakraban di bawah tenda dengan dihangatkan tiga ceret yang selalu mengepul ini boleh disebut sebagai 'Kick Bakul Angkringan'.