Lihat ke Halaman Asli

AYE Pramana

Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Menghidupi Kota dengan CSR dan Kontribusi Pengembang

Diperbarui: 30 Mei 2016   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gubernur Jakarta Ahok (sumber regional.liputan6.com)

Bukan Ahok rasanya kalau tidak bikin heboh. Sejak dulu Gubernur DKI yang satu ini memang kerap bikin heboh di media massa, terkait kebijakannya maupun terkait karakter personalnya. Orang yang satu ini memang unik, lain daripada yang lain. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dan cenderung meledak-ledak terkadang dianggap menyalahi etika komunikasi publik. 

Tidak sekali dua kali telinga orang dibikinnya memerah karena ucapannya yang tanpa tedeng aling-aling. Begitu pula ketika membicarakan sepak terjangnya di pemerintahan. Kebijakannya banyak membuat orang kebakaran jenggot. Sampai satu titik apa yang ia kerjakan disejajarkan dengan mantan presiden Soeharto karena keberaniannya menggusur warga yang dianggap menghambat tercapainya “public interest”, dalam hal penanganan banjir dan penataan pemukiman.

Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi, semakin keras dan semakin kencang angina menerpa, dan begitulah kira-kira yang saat ini dihadapi oleh seorang Ahok. Setelah pembicaraan mengenai RS Sumber Waras mulai “fade out”, kini perbincangan baru mencuat di media. Kali ini soal kontribusi pengembang pada proyek reklamasi pantai utara Jakarta. 

Saat DPRD DKI sedang membahas dasar hukum untuk mengenakan kontribusi pengembang pada pengembang yang melakukan pengembangan di area proyek reklamasi pantai utara Jakarta, kasus korupsi mencuat yang melibatkan Ketua DPRD DKI. Lalu kasus tersebut menggelinding ibarat bola salju, dan kini nama Ahok terseret. Pertama soal legalitas pungutan kontribusi pengembang tersebut, kedua soal dugaan kepentingan pribadi, atau dengan kata lain korupsi, atas penggunaan dana kontribusi pengembang tersebut dan kemudian menyangkut juga penggunaan dana CSR yang disebut-sebut sebagai sumber pendanaan besar bagi program-program pemerintahan di DKI Jakarta.

Berhubung kebetulan saya belajar dua-duanya, tiga tahun yang lalu saya sempat mengambil program studi CSR di dalam negeri dan saat ini sedang mengambil konsentrasi Urban Management and Development di negeri orang, saya tergelitik untuk memberi kontribusi pada debat yang terjadi. Saya tidak hendak memberikan judgement terhadap apa yang dilakukan Ahok, karena untuk soal itu orang yang punya background hukum punya wawasan yang lebih baik dibandingkan saya. Maksud dari tulisan ini hanya memberikan sumbangan perspektif dalam melihat kejadian yang akhir-akhir ini marak jadi perbincangan sehingga persoalan ini dapat dilihat secara lebih jernih, menuju ke inti persoalannya, dan tidak lagi mengkait-kaitkannya dengan isu-isu yang tidak substansial, seperti isu SARA.

Dua hal ini, CSR dan kontribusi pengembang, adalah dua hal yang berbeda meskipun menjawab persoalan yang sama. Dunia saat ini sedang dipusingkan oleh sebuah persoalan yang baru. Jika dulu persoalannya adalah bagaimana caranya memenuhi kebutuhan secara efektif dan efisien, persoalan yang kini muncul adalah terkait social equity, keadilan sosial. 

Kesenjangan menjadi masalah besar yang dihadapi dunia saat ini. Kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia ditambah krisis pengungsi yang sempat melanda Eropa dituding sebagai akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi. Di satu sisi sekelompok orang menimbun pundi-pundi kekayaan dengan melakukan eksploitasi kepada alam dan sumber daya manusia yang ada, di sisi lain sebagian besar orang dipaksa hidup dalam penuh keterbatasan.

Dasar filosofis dari Corporate Social Responsibility (CSR) adalah etika bisnis perusahaan dan sustainability. Seperti kita tahu bersama, ada tiga pilar utama sustainability yang sering disebut sebagai triple bottom line atau dalam bahasa yang lebih popular adalah triple “P”, yang mencakup Planet, People, Profit. Pada intinya adalah dalam menjalankan usahanya, sebuah perusahaan musti menggeser paradigma, dari semata-mata mengejar single bottom line, berupa economic profit dari sebuah perusahaan, menuju ke triple bottom line, dengan mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Cara itu dianggap mampu membuat sebuah bisnis mampu mempertahankan keberlanjutannya. Seperti yang diungkapkan oleh Elkington (2010) dalam buku Cannibal with Forks-nya, tuntutan dunia belakangan ini membuat perusahaan yang mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam usahanya akan menjadi lebih “survive” dalam menghadapi persaingan usaha.

Triple bottom line (sumber: www.ridg.com)

Di sisi lain, meskipun meng-address isu sosial yang sama, kontribusi pengembang punya dasar filosofis yang berbeda. Istilah kontribusi pengembang ini sebenarnya jamak dipakai di Negara-negara yang relative lebih maju. Kontribusi pengembang ini sebenarnya adalah nama lain dari “developer exactions” meskipun dalam prakteknya dalam kasus reklamasi pantai utara istilah ini lebih dekat dengan terminology “sale of development right” yang sukses diterapkan oleh beberapa pemerintah kota di Brazil. 

Developer exactions dan sale of development right merupakan bentuk dari Land Value Capture. Dasar filosofis dari Land Value Capture lahir dari pemikiran Henry George yang memandang bahwa kenaikan nilai sebuah lahan lebih sering terjadi tanpa adanya usaha dari pengembang ataupun pemiliknya. Kenaikan nilai lahan yang terjadi lebih banyak dihasilkan oleh konstruksi sosial dalam memandang nilai (value) dari sebuah lahan. Contoh gampangnya adalah pada kasus konversi lahan-lahan pertanian. Pada mulanya dulu lahan tersebut memiliki “value” untuk aktivitas pertanian, sehingga tanah yang subur memiliki value yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang tidak subur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline