Lihat ke Halaman Asli

AYE Pramana

Urban Scholar, Lecturer, Football Lover

Dokter Digugat, Wajar Adanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua hari ini kita sama-sama menikmati perdebatan mengenai aksi mogok yang dilakukan oleh para dokter sebagai respons atas vonis bersalah yang dijatuhkan kepada dokter Ayu, dkk oleh Mahkamah Agung. Menyikapi hal ini, opini masyarakat terbelah menjadi dua, yang satu mendukung aksi tersebut, sementara yang lain menyalahkan aksi yang dilakukan oleh korps berbaju putih ini. Yang satu menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh para dokter ini adalah sesuatu yang wajar dan memang layak untuk diperjuangkan, sementara yang lain menganggap bahwa penyampaian aspirasi oleh para dokter ini seharusnya dilakukan secara lebih elegan. Media-media online selain memuat berita soal pemogokan ini juga memuat berita mengenai layanan kesehatan yang terbengkalai selama satu hari, mulai dari operasi hernia yang gagal hingga ibu yang terpaksa melahirkan di toilet.

Saya pribadi sudah menduga dari lama bahwa suatu saat masyarakat akan menggugat profesi dokter. Betapa tidak, profesi dokter yang pada dasarnya merupakan profesi yang mulia kini mengalami pergeseran menjadi profesi elit yang jadi buruan banyak orang, terutama orang yang pada dasarnya berduit. Tidak adil memang menggeneralisasi bahwa semua dokter pasti seperti itu. Ada banyak dokter yang saya ketahui bisa bekeja dengan hati nurani. Ada banyak dokter yang masih mau membuka ruang komunikasi dengan pasien, bersedia meluangkan waktu berlama-lama dengan pasien yang datang kepadanya, dan tidak sekedar membiarkan pasien pulang ke rumah dengan membawa secarik kertas resep yang menguras kantong.

Sejujurnya saya tidak terlalu kaget manakala aksi yang dilakukan oleh para dokter ini justru membawa akibat yang kontra produktif bagi citra profesi kedokteran. Jauh sebelum masyarakat merespon aksi yang dilakukan oleh para dokter, pandangan miring terhadap profesi ini sudah sering terdengar. Bukan hal yang aneh jika dalam perbincangan di warung kopi terdengar selentingan bahwa profesi dokter ibarat profesi penjual obat, yang memberikan resep sedemikian mahal kepada para pasien. Bukan rahasia umum juga apabila masyarakat mempergunjingkan dokter yang memperoleh fee dari perusahaan obat atas resep yang diberikan. Masyarakat juga sudah mafhum apabila pasien yang berduit akan mendapatkan prioritas pelayanan yang lebih baik dan layak dibanding pasien yang miskin.

Pun demikian dengan sekolah-sekolah kedokteran. Image yang tersebar di masyarakat adalah hanya orang yang berduit besar saja yang bisa masuk ke sekolah kedokteran. Lihat saja seberapa besar sumbangan masuk yang harus dibayarkan ketika calon mahasiswa hendak masuk ke sekolah kedokteran. Padahal, sebenarnya tidak semua seperti itu. Namun yang sampai di telinga masyarakat, dan akhirnya menjadi sebuah generalisasi, adalah sekolah kedokteran hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya. Maka, selentingan yang lain menjadi permakluman di tengah masyarakat, bahwa wajar jika biaya kesehatan menjadi mahal, karena para petugas yang bekerja di bidang tersebut juga harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk menempuh pendidikannya.

Kritik terhadap dunia kedokteran adalah sesuatu yang laten dan hidup di tengah masyarakat. Maka manakala orang-orang yang berprofesi di bidang ini melakukan sesuatu yang dianggap tidak layak oleh masyarakat, kritik ini membuncah ke permukaan. Di media-media on-line, dari hasil pengamatan saya, justru banyak yang akhirnya menyalahkan profesi dokter, bahkan mengungkit-ungkit buruknya kualitas layanan kesehatan di negeri ini. Di satu sisi, aksi para dokter ini tidak membangkitkan simpati bahkan menuai antipati, di lain pihak, adalah hak setiap profesi untuk menyatakan ketidakpuasannya akan keputusan-keputusan atau tindakan yang merugikan profesi mereka.

Letupan kecil ini akan menjadi letupan yang besar jika tidak ditanggapi secara serius. Bukan hal yang baik ketika masyarakat kemudian menjadi antipati terhadap pola-pola penyembuhan secara medis. Orang-orang yang berprofesi sebagai dokter perlu membuka diri untuk berkomunikasi dengan pasiennya. Jangan sampai terkesan dokter hanya sekedar kejar setoran. PR berat bagi IDI adalah bagaimana mengontrol sekolah-sekolah kedokteran, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Jangan sampai profesi dokter di Indonesia menjadi over-supply. Hal ini akan menjadi tidak menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun profesi dokter itu sendiri. Profesi kedokteran harus dikembalikan pada cita-cita yang mulia, untuk menolong sesama tanpa pamrih. Maka, pelayanan harus didahulukan, sebelum berhitung berapa imbalan yang diterima. Satu hal yang harus disadari, dokter dan pasien berada dalam posisi yang setara. Pasien membutuhkan dokter untuk kesembuhan dari penyakitnya, dokter membutuhkan pasien untuk mengaktualisasikan profesinya. Jangan sampai hal ini terbalik-balik, dokter merasa lebih tinggi dari pasien, atau sebaliknya.

Momen ini merupakan bagian dari dinamika hidup bermasyarakat. Perdebatan yang terjadi adalah wajar adanya. Yang menjadi tidak wajar adalah manakala pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak mau melakukan refleksi dan introspeksi. Konflik, perdebatan, silang wacana, dan apapun sejenisnya merupakan hal yang positif dalam dinamika hidup bermasyarakat. Harapannya, kejadian ini menjadi titik tolak bagi terciptanya hubungan yang lebih harmonis dan setara, antara para korps berjas putih yang bekerja di dunia kesehatan, dengan masyarakat awam yang menjadi stakeholder yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang layak dari profesional bidang kesehatan.

Tulisan ini seratus persen opini pribadi penulis

Mari budayakan diskusi yang sehat untuk Indonesia yang lebih baik

(Mohon maaf tulisan ini saya posting di Kanal Sosial Budaya, karena tulisan ini sama sekali tidak mengandung informasi medis. Tulisan ini mencoba memandang fenomena mogok dokter dan reaksi masyarakat dari sudut pandang ilmu sosial humaniora. Kalau dirasa salah tempat, dengan kerendahan hati mohon dikoreksi dan dipindahkan. Salam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline