Pagi ini saya membuka hari dengan media jejaring sosial Facebook. Disitu ada yang share soal rencana aksi untuk menurunkan Jokowi-JK dari posisi Presiden dan Wakil Presiden besok tanggal 20 Mei. Katanya rencana aksi ini sudah didukung oleh aktivis-aktivis 98 dan elemen-elemen kampus perguruan tinggi besar se-Indonesia. Kenaikan harga BBM jadi momentum bagi orang-orang yang terlanjur kecewa dengan duet kepemimpinan republik ini untuk menggalang aksi tersebut. Dari situlah saya membuka hari ini dengan hati yang panas. Masak belum genap satu tahun dilantik sudah diminta turun? Katanya sih dari pondasinya saja sudah kelihatan bahwa kepemimpinan Jokowi-JK berpotensi menghancurkan negeri ini, jadi percuma saja kepemimpinan mereka dilanjutkan sampai 5 tahun ke depan. Untuk sedikit meredakan hati yang panas saya tulis komentar juga di situ, supaya kita lengserkan saja Jokowi-JK lalu kita bikin Pemilu lagi. Kalau nanti pemimpin hasil Pemilu dianggap tidak “pro rakyat” lagi ya kita bikin Pemilu lagi, jadi masa jabatan presiden kalau perlu sama seperti masa jabatan Ketua RT yang tiap tahun ganti.
Well, dengan hati yang “kemropok” itulah saya pergi ke kantor KPP Pratama DIY untuk mengumpulkan SPT 2014. Suasana disana benar-benar menambah hati panas, karena dimana-mana penuh orang. Loket sudah disediakan hingga 6 biji namun antrian tetap saja mengular. Saya mengambil antrian dan harus menunggu sekitar 200 nomor lagi untuk mendapat giliran. Okelah, waktu saya agak terbuang demi mewujudkan cita-cita menjadi warga negara yang baik dengan taat membayar pajak. Sambil menanti antrian, saya mendatangi loket informasi, untuk memastikan dokumen SPT sudah diisi dengan benar sambil menanyakan bagaimana caranya mengisi SPT secara online. Di sinilah hati saya benar-benar mendidih.
Saya berdiri di belakang kursi pengunjung karena waktu itu ada pengunjung yang sedang meminta informasi kepada petugas. Petugas tersebut melayani pengunjung dengan ramah dan jelas. Nah, pengunjung yang ada di depan saya ini rupa-rupanya sudah selesai mendapatkan penjelasan dari petugas. Berhubung waktu itu saya berada di situ lebih dulu dibandingkan orang-orang lain yang juga berada di situ, saya merasa ini adalah giliran saya untuk dilayani. Namun secara aneh bin ajaib, dua orang wanita dengan cekatan menyusup dari bagian samping, dan langsung duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan pengunjung sebelumnya. Saya cukup tersenyum dan hebatnya, salah satu wanita itu juga membalas senyuman sinis saya. Setelah itu, pengunjung yang ada di kursi sebelahnya juga sudah selesai dilayani. Oke, ini giliran saya untuk duduk dan mendapatkan informasi dari petugas. Secara aneh bin ajaib lagi, seorang pria yang datang belakangan sudah mengambil ancang-ancang untuk duduk di kursi itu dan bahkan sudah menyusup dari samping untuk segera duduk di kursi yang ditinggalkan oleh pengunjung sebelumnya. Berhubung hati sudah panas, segera saya tarik kursi itu dan langsung saya duduki. Halo, saya sudah menunggu lama di situ, dan anda baru datang belakangan langsung minta dilayani? Belum cukup sampai di situ, ketika petugas selesai memberikan penjelasan kepada orang yang ada di samping saya, ada seorang pria yang juga datang belakangan tiba-tiba “nyempil” dan langsung mengajukan pertanyaan kepada si petugas. Untung si petugas ini adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta orang tersebut untuk menunggunya selesai memberi penjelasan kepada saya.
Well, sudah lama sebenarnya saya ingin menuliskan soal budaya antri di negeri kita tercinta. Entah sudah berapa tulisan yang ditulis pun di Kompasiana ini, yang temanya sama-sama mengeluhkan soal budaya antri. Orang terbiasa saling serobot disini, takut tidak kebagian jatah. Tak hanya di kantor pajak, ketika dulu saya menjadi pengguna setia Trans Jogja pun hal semacam ini sering saya jumpai. Orang berjubel di dekat pintu keluar masuk halte dan bus, sehingga akhirnya orang yang naik ataupun yang turun sering harus saling dorong ketika keluar dan masuk ke dalam bus. Di atas jalan raya pun, hal serupa sering saya jumpai. Jangan dulu kita bicara Jakarta, dimana orang bisa sangat beringas ketika berkendara di atas jalan. Di Jogja, yang notabene kota Pelajar pun orang gemar saling serobot ketika berkendara di jalan raya.
Entah kenapa kebanyakan orang Indonesia bersikap seperti itu. Ruang diperebutkan seolah-olah bila tidak saling menyerobot orang tidak akan kebagian tempat. Banyak orang minta didahulukan, tapi lupa bila di sekitarnya ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak untuk didahulukan. Padahal kita ini terkenal karena semangat gotong royongnya. Kita ini dikenal karena keramah tamahannya. Tapi entah kenapa kita sulit untuk antri. Padahal, dengan mengantri, kita menempatkan penghormatan yang tinggi terhadap hak orang lain. Membiasakan mengantri juga berarti ikut ambil peran dalam menciptakan keteraturan, hal dasar yang dibutuhkan untuk mempercepat apa yang kita sebut sebagai pembangunan di negeri ini.
Ini pendapat pribadi sih, daripada menuntut Jokowi JK turun dan menyalahkan kebijakan-kebijakannya, lebih baik mulai dari diri sendiri untuk menciptakan keteraturan di lingkungan terkecil dari diri kita. Percayalah, dengan membudayakan kebiasaan mengantri, pergerakan orang dan barang akan menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga bahan bakar kendaraan dan energi kita tidak akan banyak terbuang sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H