Untuk menerangkan sebuah istilah dalam sebuah bentuk rangkaian kalimat dalam hal ini bentuk rangkaian idhofah perlu ditelusuri terlebih dahulu akar pembentukan kalimat tersebut. Namun karena pembentukan kalimat yang dimaksud di sini mempunyai akar permasalahan yang terkait dengan pembahasan fikih dan lebih khusus lagi dengan pembahasan permasalahan pernikahan maka pembentukan maknanya pun terkait dengan pembahasan tersebut. Disamping itu pembahasan masalah ini terkait pula dengan kajian rangkaian aturan pencatatan pernikahan maka perlu ditelusuri dari mana pengambilan istilah tersebut sebab jika ditelusuri tanpa mengetahui sumber pengambilannya, tentu pembahasan akan melebar hanya untuk menemukan sebuah istilah dan kurang efektif serta efesien terhadap waktu.
Langsung saja kita bahas pokok masalah istilah yang dimaksud. Istilah masafat al-kasr/masafatul qosri (bisa dibaca idhofah dengan memberi alif lam (di makrifatkan) pada mudof ilaihnya, juga bisa tanpa alif lam (dinakirahkan) dibaca masafatu qosrin). Dalam kitab i'anatut tolibin juz 3 halaman 361 cetakan darul fikr dimaknai (yang dimaksud dengan marhalatain yaitu ukuran jarak tempuh yang memberatkan, karena jaraknya jauh. Dua marhalah artinya masafatul qosr). Ukuran ini pun digunakan dalam permasalahan wali nikah jika wali tersebut ghoib.
Permasalahan ghoib ini pun dimaknai dalam kitab fathul mu'in halaman 470 cetakan dar ibn hazm sebagai (jarak tempuh bagi wali nasab dari jalur yang paling dekat kepada calon pengantin perempuan yaitu dua marhalah). Makna ini lebih diperjelas lagi dalam i'anah masih dalam halaman yang sama sebagai (jika wali nasab yang paling dekat kepada calon pengantin perempuan tidak ada maka perwalian tidak berpindah kepada wali nasab yang sangat jauh secara susunan wali tapi diserahkan kepada hakim). Jadi jelas menurut makna yang diberikan oleh kedua kitab fikih tersebut bahwa wali nasab yang gaib karena halangan jarak antara tempat wali dengan calon pengantin perempuan, yang berhak menjadi wali adalah hakim.
Namun agar sebuah hukum menjadi sebuah aturan bagi sebuah ketetapan maka perlu dituangkan dalam sebuah perundang-undangan sebagai hukum tertulis. Sebuah hukum dalam perundang-undangan memiliki sebuah hubungan turunan (hierarki) artinya hukum itu terbentuk karena ada hukum yang lebih tinggi yang menaungi aturan dibawahnya. Oleh karena itu sebuah hukum tidak serta merta bisa menjadi sebuah hukum tertulis kalau memang belum ada peraturan di atasnya sebagai induk bagi aturan turunannya. Hierarki aturan perundang-undang tersebut diatur dalam UU no. 12 tahun 2011 bab III tentang jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan pasal 7 ayat 1 sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945, 2. Ketetapan MPR, 3. Undang-undang (UU)/Peraturan Presiden Penganti Undang-undang (Perpu/Perppu), 4. Peraturan Pemerintah (PP), 5. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Propinsi), 6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota).
Berkenaan dengan wali yang jaraknya jauh dari tempat peristiwa nikah dilangsungkan ketetapannya diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA). Ini merupakan perincian dan penjelasan dari UU no. 1 tahun 1974 karena di dalam UU tersebut menyatakan bahwa pernikahan dikatakan sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan calon mempelai. Dalam UU 1 1974 tidak dijelaskan tentang kedudukan wali dan perinciannya namun karena masalah wali merupakan bagian inheren ajaran agama yang menjadi tolak ukur sahnya sebuah pernikahan maka perlu perincian agar dalam pelaksanaannya menjadi jelas dan aplikatif tanpa harus menelaah kitab-kitab sebagai sumber rujukan.
Melihat kronologi aturan wali yang pertama kali muncul adalah Intruksi Presiden no. 1 tahun 1991 berupa sebuah kompilasi aturan hukum bagi umat Islam lebih dikenal dengan sebutan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga buku. Buku pertama tentang hukum perkawinan, buku dua tentang kewarisan, dan buku ketiga tentang perwakafan. Kemudian ada bagian yang dirubah dan ditambah pada poin-poin tertentu dalam PMA no 19 tahun 2018 dan no. 20 tahun 2019.
Pada bagian persyaratan wali nikah dalam bagian ketiga wali nikah pasal 20 ayat 1 KHI hanya tercantum tiga komponen yaitu: 1. Muslim, 2. Akil, 3. dan baligh. Sedangkan dalam PMA 19, 2018 Paragraf 2 tentang Wali pasal 11 ayat 2 dan PMA no. 20 tahun 2019 Paragraf 2 tentang Wali Nikah pasal 12 ayat 2 ditambah dua komponen yaitu laki-laki dan adil. Selengkapnya syarat wali dalam PMA, 1. Laki-laki, 2. Beragama Islam, 3. Baligh, 4. Berakal, 5. Adil.
Sedangkan dalam pasal 21 ayat 1 KHI susunan wali nikah dibagi kedalam kelompok dengan tidak dirinci sesuai kedekatan kekerabatannya. Kelompok pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kelompok kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok ketiga, kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Dalam PMA pasal 11 ayat 3 susunan wali nasab dirinci sebagai berikut: 1. Bapak kandung, 2. Kakek (bapak dari bapak), 3. Bpak dari kakek (buyut), 4. Saudara laki-laki sebapak seibu, 5. Saudara laki-laki sebapak, 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seibu, 7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, 8. Paman (saudara laki-laki bapak sebapak seibu), 9. Paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak), 10. Anak paman sebapak seibu, 11. Anak paman sebapak, 12. Cucu paman sebapak seibu, 13. Cucu paman sebapak, 14. Paman bapak sebapak seibu, 15. Paman bapak sebapak, 16. Anak paman bapak sebapak seibu, 17. Anak paman bapak sebapak, 18. Saudara laki-laki kandung kakek, 19. Saudara laki-laki sebapak kakek, 20. Anak sebapak seibu saudara kandung kakek, 21. Anak saudara laki-laki sebapak kakek.
PMA 19 2018 pun dirubah kembali oleh PMA no. 20 tahun 2019 pada paragraf 2 tentang wali pasal 12 ayat 3 berkenaan dengan urutan wali nasab masih sama dengan PMA sebelumnya no 19 hanya ada beberapa wali yang dihapus yaitu wali pada urutan ke delapan belas sampai wali ke dua puluh satu.
Jika semua wali yang tertera dalam susunan wali tersebut dalam bahasa KHI pasal 23 ayat 1 tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan maka yang jadi wali nikah adalah hakim. Adapun bagi wali hakim untuk kasus walinya adlal atau enggan harus disertai putusan pengadilan agama yang menyatakan adlalnya wali tersebut.