Lihat ke Halaman Asli

Jika Anda Menjadi Seorang Dokter...

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya pernah mendengar dari seorang bijak,bahwa untuk bisa mewujudkan empati cobalah untuk memposisikan diri anda dalam posisi yang dialami orang lain.

Nah, sekarang saya ajak teman-teman berandai-andai dan berempati. Seandainya anda menjadi seorang dokter. Dan kemudian terjadilah hal berikut :

1.Saat anda sedang on duty (jaga), datanglah seorang pasien dalam keadaan gawat darurat. Pasien datang tanpa keluarga.Setelah anda melakukan pemeriksaan, secara keilmuan anda menentukan bahwa si pasien harus segera dilakukan tindakan operasi. Karenabila kondisi seperti itu dibiarkan lama akan mengakibatkan si pasien kehilangan nyawa. Karena tidak ada keluarga, dan tindakan harus segera dilakukan, maka anda langsung mengoperasi pasien tersebut untuk menyelamatkan nyawanya. Anda sudah bekerja sesuai prosedur dengan benar, namun pasien tidak dapat tertolong. Pasien meninggal. Keluarga pasien menuntut anda karena melakukan tindakan tanpa pesetujuan pasien dan keluarga. Kemudian anda dipenjara.

2.Dalam kondisi yang sama. Tapi kali ini anda memutuskan untuk tidak dilakukan tindakan operasi sebelum ada persetujuan dari keluarga (karena pasien tidak sadar). Sebelum sempat dilakukan tindakan, pasien meninggal. Anda lalu dituntut keluarga pasien karena terlambat melakukan tindakan. Kemudian anda dipenjara.

Mana yang anda pilih jika anda seorang dokter?

Jelas dilihat dari dua keadaan di atas, tak ada sama sekali niat dari seorang dokter untuk membuat sang pasien meninggal. Motifnya hanya satu : menyelamatkan nyawa pasien. Tapi pun usaha menyelamatkan pasien sekarang menjadi pilihan yang sulit mengingat tindakan yang harus diambil walaupun dilakukan dengan prosedur yang benar, tetap beresiko sanksi hukum atas tindakan sang dokter. Tak peduli apa yang terjadi, dokter akan dianggap penjahat dalam setiap pilihannya untuk menyelamatkan nyawa. Kriminalisasi.

Semua tindakan medis memiliki resiko. Itulah yang disebut resiko medis. Operasi usus buntu memiliki resiko infeksi. Pemberian obat juga memiliki resiko alergi. Susahnya, masyarakat tidak terlalu mengenal terminology resiko medis. Semua tindakan, jika tidak membawa dampak positif terhadap pasien akan bermuara pada satu kata : Malpraktik. Tulisan ini bukan ingin membahas malpraktik atau aspek medikolegal dari suatu tindakan kedokteran. Dalam dunia kedokteran sendiri sudah ada komite etik yang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran aspek medikolegal dari tindakan seorang dokter. Singkatnya, istilah malpraktik tidak sesederhana yang diucapkan orang-orang. Jadi jika kita hanya mengetahui setengah-setengah mengenai pembahasan ini, lebih baik tidak berusaha menyebarkan informasi yang bisa menyesatkan. Kasihan masyarakat kita.

Kasus Rekan sejawat kami dr. Ayu, dkk misalnya. Ada fragmen hukum yang harus dijelaskan oleh pakar. Ketika orang awam hukum seperti saya mendengar kasus ini, tentu timbul bebagai pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang yang sudah divonis bebas murni oleh pengadilan negeri, sudah dinyatakan pada dirinya tidak ada pelanggaran prosedur oleh komite etik, dan sudah dilakukan autopsy terhadap jenazah pasien dimana diketahui penyebab kematian adalah emboli ketuban (suatu kejadian dengan resiko kematian tinggi dan tidak bisa diprediksi) bisa divonis penjara oleh Mahkamah Agung. Jika yang digunakan adalah pasal kelalaian yang menyebabkan kematian, harus dijelaskan kelalaian prosedur apa yang dilakukan oleh dr. Ayu dkk. Jika yang digunakan adalah pasal pidana seperti pembunuhan, apa relevan penggunaan pasal tersebut digunakan untuk dokter yang berusaha menyelamatkan pasien tapi gagal. Jika anomali hukum ini tidak memiliki penjelasan rasional, tentu peninjauan kembali (PK) terhadap vonis ini perlu diupayakan. Sekali lagi, perlu pemahaman masyarakat bahwa ada penyulit / kasus dalam dunia kedokteran yang tidak bisa diprediksi dan dihindari yang berpotensi menyebabkan kematian. Analogi yang sama misalnya, jika gempa bumi terjadi di suatu daerah dan menimbulkan korban jiwa. Siapa yang kita salahkan? Pemerintah? Badan Meteorologi dan Geofisika? Badan penanganan bencana?Atau Ilmuwan yang gagal memprediksi terjadinya gempa?

Dengan resiko hukum seperti ini, akan berdampak besar tentunya terhadap pelayanan medis. Dokter akan menjadi ragu untuk mengambil tindakan terhadap kasus gawat darurat karena berbagai pilihan untuk penyelamatan pasien beresiko terancam sanksi hukum. Dampak lebih luas lagi adalah vonis ini dapat menjadikan paradigma masyarakat menjadi bias. Suatu saat ketika dokter tidak mampu lagi menghalangi kematian seseorang, maka dokter lah yang salah. Padahal dokter hanya perantara, profesi yang lebih mengedepankan proses. Dokter hanya berusaha untuk menyelamatkan pasien dengan sebaik-baiknya menurut keilmuannya, namun tak mustahil usaha itu gagal dan pasien meninggal. Mengutip kata-kata dari dr. Nurdadi Soleh (Ketua Umum POGI) : “jika kali ini dokter dipenjara karena gagal meyelamatkan pasien, bukan mustahil suatu saat dokter akan dipenjara karena gagal menghidupkan orang meninggal’’.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap profesi lain, buat saya pribadi, dokter adalah salah satu profesi yang dalam pendidikannya benar-benar diajak untuk berpikir rasional dan logic. Memikirkan berbagai aspek strength, weakness, opportunity, threat dalam melakukan sesuatu. Baik-buruk, untung-rugi, manfaat-mudharat, dsb. Ketika imbauan PB IDI untuk melakukan aksi solidaritas, doa bersama, dan tafakkur nasional, itu pun adalah sebaik-baiknya aksi, Berdoa untuk kesehatan rakyat Indonesia, untuk seluruh pasien-pasien kami dan untuk keselamatan seluruh dokter Indonesia dalam menjalankan tugas profesionalnya, tanpa mengorbankan pelayanan terhadap pasien gawat darurat dan pasien tidak mampu. Ini bukan merupakan aksi self defence tanpa rasionalisasi ataupun pembelaan membabi buta. Tidak akan kami bela rekan sejawat kami , jika memang dia bersalah. Tetapi, ketika rekan sejawat kami yang berusaha menyelamatkan nyawa pasien justru dizalimi, diperlakukan tidak adil dan semena-mena, dikriminalisasi seperti penjahat kelas kakap (sementara para koruptor penghisap darah berkeliaran dengan riang gembira), maka izinkanlah kami menunjukkan solidaritas kami terhadap mereka. Karena dalam profesi kami, rekan sejawat itu seperti saudara kandung kami. Sakit mereka adalah duka kami. Kami hanya berusaha memperlakukan rekan sejawat kami sebagaimana kami ingin diperlakukan.

Kali ini izinkanlah kami berusaha memenuhi sumpah yang kami ucapkan ketika kami menjadi dokter.

Salam sayang untuk TS seluruh Indonesia.

27 November 2013,Bertepatan dengan Aksi Solidaritas dan Tafakur Nasional Dokter Indonesia

Dr. Yumna Muzakkir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline