Lihat ke Halaman Asli

Gaya Hidup yang Tidak Gaya

Diperbarui: 4 Februari 2016   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Foto: Flickr"][/caption]Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Anekdot ini muncul ketika kemajuan teknologi dan internet telah mempengaruhi budaya sosial masyarakat kita. Orang-orang kini lebih sibuk berkutat dengan telepon pintarnya, untuk berkomunikasi via media sosial, ketimbang berbincang dengan kerabat dihadapannya.

Banyak contoh perubahan gaya hidup akibat pesatnya perkembangan teknologi. Komunikasi lewat surat berbahan kertas perlahan tapi pasti mulai berkurang, digantikan oleh surat elektronik atau email. Komunikasi pesan pendek yang berbayar beralih ke ruang diskusi yang gratis.

Perkembangan teknologi, budaya, dan ekonomi, turut mengubah gaya hidup masyarakat, termasuk dalam urusan perut. Bagi yang tinggal di perkotaan, makan kini bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan hidup semata, namun sudah menjadi gaya hidup atau lifestyle.

Tak heran jika tempat wisata makan sekarang menjamur. Maklum, banyak pasangan suami-istri yang jarang masak di rumah. Perubahan perilaku inilah yang ditangkap oleh pelaku bisnis kuliner. Hanya beberapa meter dari rumah sudah ada pilihan tempat makan yang beraneka ragam.

Enaknya lagi, berbagai makanan itu bisa dipesan dari rumah. Tak perlu bangun dari sofa yang empuk. Tinggal telepon atau klik di aplikasi ponsel, petugas layanan antar makanan datang kurang dari 30 menit. Jika restoran tersebut tak punya petugas delivery, ada aplikasi ojek yang menyediakan jasa serupa dan beroperasi 24 jam.

Nikmat, bukan? Tentu saja. Tapi tunggu dulu. Gaya hidup modern tersebut juga menyimpan dampak negatif. Orang jadi mager alias malas gerak. Memang, kemajuan teknologi menyajikan kepraktisan, efisiensi, dan kemudahan beraktifitas. Namun, jika digunakan secara berlebihan dapat berakibat serius terhadap gangguan kesehatan.

Pola interaksi antar manusia juga mengalami kemerosotan. Orang lebih menyukai berselancar di internet ketimbang berdialog dengan manusia di dunia nyata. Mobil-mobil berisi keluarga modern kerap diliputi keheningan karena masing-masing sibuk dengan gadget-nya. Generasi bisu sudah masuk ke dalam satuan organisasi terkecil.

Dus, kecemasan publik terhadap sebuah kejadian semakin meningkat akibat cepatnya sebaran berita dari internet yang belum tentu benar. Masih segar dalam ingatan kabar aksi teror bom Sarinah yang juga menyebar ke wilayah lain seperti Slipi, Kuningan, dan Cikini. Sebuah stasiun televisi swasta ikut menyebarkan berita itu. Masyarakat panik. Belakangan diketahui bahwa informasi yang didapat dari dunia maya tersebut tidak benar alias hoax.

Kita memang tak bisa menghindar dari pesatnya kemajuan teknologi yang semakin murah. Masyarakat yang tinggal di pegunungan pun kini sudah akrab dengan internet sehingga mereka tak lagi ketinggalan informasi di berbagai bidang seperti pendidikan dan budaya. Mereka juga menggunakan internet sebagai media untuk memperluas jaringan dan kemudahan bertransaksi bisnis. Ujung-ujungnya, ya, mendongkrak perekonomian daerah terpencil.

Namun, kita tidak perlu menjadi budak teknologi. Tanda-tanda kemerosotan moral akibat perkembangan teknologi harus disikapi serius. Fenomena gaya hidup yang tidak punya gaya ini ibarat hidup di dunia modern yang serba kekinian, namun sadar tidak sadar mempengaruhi pola hidup dan pola makan yang tidak sehat.

Sebenarnya bila kita peka dengan bahasa komunikasi tubuh, perjalanan penyakit tentu ada proses dalam bentuk gejala yang dirasakan tubuh sebelum menuju parah. Jika gejala itu tidak direspon dengan baik, maka tubuh akan berteriak lebih keras untuk menarik perhatian, hingga sang pemilik badan mesti mengembalikan keseimbangan di dalam dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline