Lihat ke Halaman Asli

Yuli Susanti

MAHASISWI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Anthrophus 21

Diperbarui: 28 November 2022   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SURABAYA - Yang berumur 21 tahun. Usia yang tidak lagi muda, tapi tidak mau dikatakan dewasa. Di usia segini, banyak orang berpikir bagaimana cara untuk maju kedepannya. Jika berbicara tentang masa depan. Pasti selalu berhubungan dengan harapan. Semua manusia pasti ingin yang terbaik, tapi tidak jarang hal itu terbalik. Ini adalah perjalanan kisahku. Disaat saya kebingungan dan berada diujung kehampaan. Selalu coba berbicara dengan teman-teman. Percakapan telfon malam itu cukup berat dan banyak kata sambat (21/01).

"Di umur kita sekarang, kehidupan semakin jelas perwujudannya. Banyak rintangan dan halangan yang berada di depannya. Pikiran dan perasaan mulai menyulitkan, mencampuradukkan dan sampai melalaikan" ujar Esi.

Pada saat itu saya termenung dalam diam dan mulai merasakan ucapan tadi. Manusia memang hidup untuk kedepan, bukan untuk ke belakang. Banyak ketakutan yang hinggap dalam pikiran saya. Memang berada pada semester lima ini, membuat kami membuka mata. Bahwa banyak hal yang harus direncanakan.

"Banyak hal yang saya rencanakan, tapi kadang juga dilalaikan. Mungkin kebiasaan memudahkan suatu hal yang membuat banyak orang terlena dengan waktu. Jika pada semester sebelumnya ini semua bisa teratasi tapi tidak untuk sekarang" ucapku dengan parau.

Semester lima bukanlah semester yang mudah. Karena pada detik ini kita dibebankan dengan berbagai penggandaian. Mulai dari mengandai bagaimana situasi KKN dan PPL bahkan setelah lulus kuliah. Banyak orang yang mengatakan semester lima memang tidak mudah untuk dijalani. Tapi bukan berarti sangat sulit untuk dilalui. Karena ada pepatah bisa karena terbiasa, selesai karena memang kita selesaikan. Saat menatap masa setelah lulus kuliah akan banyak kebingungan dan ketidakpercayaan diri. Mau menjadi apa seterusnya, mau berbuat apa setelahnya dan mau menjalani hari yang bagaimana.

"Mungkin untuk sekarang, kita tidak perlu memikirkan apa yang harus kita kerjakan. Karena semua sudah ditentukan dari pihak kampus yang kita pilih. Tapi tidak untuk di masa depan, tidak ada yang menentukan dan kita harus bisa berjalan dari ketentuan kita sendiri" Ujar esi dengan tatapan kosong.

Dua tahun setengah kita berkuliah, tetapi masih belum bisa memberikan apa tujuan hidup kita selanjutnya. Mungkin dengan melihat gelar kita, bisa tahu apa yang bisa menjadi beberapa pilihan. Baik menjadi guru, jurnalis, penulis dan sebagainya. Atau memilih menjadi rumah tangga.

"Ketakutan, pemikiran kita kedepannya yang negatif harus dikesampingkan. Semua itu hanya akan menghambat jalanmu ke depan. Jangan hiraukan pemikiran orang jika memang tidak dibutuhkan dan diperlukan ujarku mencoba menerawang ke depan.

Pilihlah semuanya dengan kehati-hatian, pertimbangan dan perencanaan. Hidup manusia tidak bisa diulangi untuk kedua kalinya. Jadi harap pikirkan untuk semua konsekuensinya. Contohnya, saat kita memilih menjadi mahasiswa. Kita harus sadar bahwa banyak tuntutan yang akan datang di belakangnya. Banyak kegiatan yang harus kita kerjakan untuk menyelesaikan studi kita. Masih banyak contoh kecil lainnya. Tapi semua itu harus disesuaikan dengan keadaan. Ibarat kita memilih buku acuan, harus memilih yang relevan dengan tujuan. Sama halnya dengan cita-cita manusia. Harusnya disesuaikan dengan apa yang diinginkan, menjadi kesukaan dan jika dilakukan terus-menerus tidak akan membosankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline