Lihat ke Halaman Asli

Yulicia

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, prodi Ilmu Komunikasi

Psikoanalisis Film "Joker" (2019)

Diperbarui: 16 November 2021   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber : kompas.com)

Film Joker yang di produksi tahun 2019, yang disutradarai oleh Todd Philips. Joker merupakan film psikologi Amerika Serikat. Film ini diangkat karena masih banyak masyarakat Amerika yang suka membully kesehatan mental seseorang.

Film Joker yang memiliki tokoh utama bernama Arthur Fleck atau Joker yang diperankan oleh Joaquin Phoenix. Joker awalnya merupakan pelawak tunggal yang menderita penyakit mental juga diabaikan oleh masyarakat.

Penyakit mental yang didapatkan oleh Joker merupakan taruma dari masa lalunya. Dimana ibu Joker yang bernama Shopie Dumond yang diperankan oleh Zazie Beetz memukul keras kepala Joker. Sehingga Joker mendapatkan kekerasan itu berdampak pada dirinya. Joker sulit mengontrol tawanya di karenakan dari penyakit mentalnya tersebut.

Dalam menganalisa Joker, ia memiliki anxiety juga dalam dirinya. Dimana ia memiliki kekhawatiran takut bahwa ibunya dilukai. Namun setelah ia mengetahui bahwa ibunyalah yang membuatnya seperti saat ini timbullah rasa ingin membalas dendam.

Karena ia berprofesi menjadi seorang badut tentu ia berpenampilan menjadi seorang badut, namun dari dialog maupun cara ia memperankan tokoh tersebut mempresentasekan bahwa ia bukan hanya seorang badut. Ia ingin didengar dan dipandang oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa Joker kurang akan kasih sayang.

Pada film ini banyak scene-scene yang menampilkan Joker sedang berkaca melihat dirinya. Pada saat ia sedang mandi, saat sedang memasang riasan wajah sebagai badut, dan saat ia telah menjadi badut pembunuh. Dalam id Joker ia sadar bahwa ia harus terus tersenyum walaupun banyak masalah karena ia sadar ia seorang penghibur. Pada saat bercermin timbul sebuah identitas bahwa Joker ini seorang badut. Badut dimana yang meskipun ada beribu masalah di dalam kepalanya namun tetap tersenyum di depan banyak orang.

Superego dari Joker tersebut adalah ia di abaikan oleh masyarakat. Bahkan saat Joker berobat ke salah satu badan yang menangani penyakit mental ia sering sekali diabaikan. Superego Joker ini ingin diperhatikan oleh masyarakat, serta ibunya juga terkadang kurang memperdulikan dirinya.

Egonya yang tidak terkontrol adalah ia membunuh orang-orang yang membuatnya sedih, orang-orang yang menyudutkannya, serta orang-orang yang membullynya. Dalam membunuh orang Joker sadar bahwa ia sedang membunuh namun rasa dalam diri Joker membuat dirinya puas akan hal tersebut.

Psikoanalisisnya bahwa penyakit mental yang didapatkan oleh Joker di masa lalu. Masa lalu mempengaruhi mental seseorang kedepannya. Dari adanya masa lalu yang buruk timbul rasa ingin balas dendam di masa depan. Hal ini membuat Joker akhirnya membunuh dan bertindak gila di kotanya.

Penonton yang ditargetkan menonton film ini memang berumur 18 tahun ke atas. Karena memang ada adegan-adegan yang tidak pantas di tonton oleh anak kecil. Dimana anak kecil dapat menirukan gaya-gaya Joker dan mengajarkan balas dendam.

Jika anak-anak yang menonton film ini, mereka berpikir bahwa jika dipukul oleh orang tua balasannya adalah membunuh. Itu jika dibahas dari sisi negatif film Joker. Namun jika dibahas dari sisi positifnya,  yang dapat diambil adalah jangan pernah menyepelekan masalah mental seseorang. Tentunya setiap manusia mengalami yang namanya proses pembelajaran sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline