Akhirnya sekolah online di musim pandemi ini memakan korban jiwa. Seperti yang dimuat di beberapa media online diantaranya CNN Indonesia (15/9, pukul 13.17 Wib), di Lebak Banten, seorang mama muda (usia masih 26 tahun) tega menganiyaya anaknya hingga meninggal dunia (26/8).
Aksi "Harimau memakan anaknya sendiri ini" dipicu oleh emosi ibu yang memuncak karena anaknya yang masih kelas satu SD (Usia 8 tahun) sulit mengerti pelajaran daring yang tengah diikutinya. Mama muda ini mungkin sudah kesal dan stres dengan sekolah online selama pandemi ini. Begitu anaknya tidak paham bukan malah membantu kesulitam putrinya dengan sabar, mama muda ini malah mengambil sapu dan memukul kepala anaknya sampai 5 kali. Tentu saja sang anak yang masih polos ini tidak mampu memberikan perlawanan hingga akhirnya anak tersebut meregang nyawa di tangan ibu kandungnya sendiri.
Sebelum ini, juga ada kejadian serupa di Malang, seorang ibu menganiyaya anak kandungnya karena kesal anaknya tidak paham dengan pembelajaran matematika secara daring (idNews.id 2/9 2020). Ibu ini memukul anak laki-lakinya dengan selang air dan menggigit tangan putranya, untung anaknya tidak sampai meninggal dan kasus ini sekarang telah ditangani pihak kepolisian Polres Malang Jawa Timur.
Jangan sampai sekolah diliburkan agar anak tidak mati terpapar Covid-19 tetapi malah babak belur atau mati di tangan orang tuanya sendiri.
Harus berapa lagi korban yang akan jatuh karena pembelajaran jarak jauh ini?.
Sekolah secara daring memang baru pertama kali ini terjadi secara luas di Indonesia. Ternyata dampaknya sungguh luar biasa. Banyaknya keluhan dari masyarakat khususnya orang tua saat mendampingi anaknya belajar di rumah menunjukkan bahwa selama ini orang tua pasif dan tidak peduli dengan pendidikan formal anaknya.
Orang tua pasrah sepenuhnya dengan pembelajaran di sekolah. Begitu pembelajaran sekolah dipindah ke rumah dan sosok guru menjadi virtual, orang tua kelabakan dan baru merasakan bagaimana susahnya mendidik seorang anak.
Melihat dari beberapa kasus kriminal yang terjadi, mengingatkan saya pada kasus kriminalisasi guru yang dilaporkan oleh wali murid karena mencubit atau menjewer siswa.
Sebut saja kasus pak guru Samhudi dari Sidoarjo (Kompas.com, 1/7 2016) yang mencubit siswa karena mangkir tidak sholat Dhuha, pak gurupun diganjar hukuman penjara 3 bulan walaupun akhirnya hakim memutuskan pak guru tidak perlu menjalani hukumannya, sebagai gantinya pak guru harus membayar denda Rp.250.000.
Kasus tersebut pernah menghebohkan dunia pendidikan Indonesia dan membuat PGRI turun ke jalan sebagai bentuk solidaritas.
Selanjutnya kriminalisasi pada guru juga pernah terjadi di Wajo Sulawesi Selatan, kita pasti masih ingat kasus ibu guru Mala Yanti (Tribun Medan.com 5/12 2017). Bu guru Mala dilaporkan secara pidana oleh wali murid yang tidak terima anaknya dicubit kecil karena bermain Hp saat pelajaran.
Atau kita juga masih ingat kasus pemukulan wali murid pada ibu guru Lastini, seorang guru SDN 31 Meliau Kalimantan Barat, dia babak belur dihajar wali murid yang tidak terima anaknya ditegur saat di sekolah.
Yang lebih tragis lagi adalah nasib pak Ahmad Budi Cahyono guru SMAN 1 Torjun Sampang Madura yang harus meregang nyawa di tangan siswanya sendiri saat dia menegur siswa karena tidur di kelas saat jam pelajaran.
Juga kasus pak guru Alexander Pankey, guru SMK Ichtus Manado Sulawesi (iNews.id 22/10 2019) yang harus tewas karena ditikam berkali-kali oleh siswanya sendiri karena tidak terima diperingatkan datang terlambat dan merokok di sekolah.
Memang tidak dibenarkan seorang guru memberikan hukuman secara fisik apalagi sampai mengakibatkan siswa cidera atau berdarah-darah, tetapi bila hanya teguran lisan dan cubitan kecil mungkin mulai saat ini wali murid bisa mahfum bahwa guru juga seorang manusia bukan.