SSN adalah singkatan dari Sekolah dengan Standart Nasional, ini ada di setiap jenjang pendidikan baik SD, SMP, maupun SMA. Sekolah dengan Standar Nasional ini setingkat lebih rendah dengan RSBI ( Rintisan Sekolah Berbasis Internasional ) baru kemudian SBI ( Sekolah Berbasis Internasional )
Untuk jenjang SD maupun SMP, sekolah SSN ini tidak di pungut biaya alias gratis. Tentunya dengan tanpa biaya tapi dengan mutu pendidikan yang lebih baik daripada sekolah reguler membuat para orang tua murid berlomba lomba ingin menyekolahkan buah hatinya di sekolah SSN ini. Dan rasanya keadaan seperti ini membuat praktek uang tidak bisa dihindarkan.
Saya hanya ingin menuliskan pengalaman ketika mendaftarkan anak kedua saya ke sebuah SD SSN tahun lalu dan berlanjut ketika mau memindahkannya ke kelas dua di SD tersebut. Karena kakaknya sudah bersekolah disitu dan waktu kakaknya masuk masih belum ada embel embel SSN di belakang nama sekolahnya juga belum ada program sekolah gratis maka waktu masuk tidak ada kesulitan dan persaingan belum begitu ketat.
Enam tahun telah berlalu ketika tanpa saya sadari kalo sekolah itu sudah menjadi demikian bergengsi dimata para orang tua murid itu terlihat dari banyaknya pendaftar, dari sekitar 165 calon murid hanya akan diterima 56 murid untuk dua kelas karena ketentuan dari pemerintah hanya memperbolehkan 28 anak per kelas. Beda dengan SD reguler yang bisa sampai 40 anak perkelas.
Was was juga melihat persaingan yang begitu ketat, jadi timbul rasa ragu apakah anak saya bisa diterima sekolah disitu. Setelah melewati serangkaian tes dan juga wawancara untuk orang tua benar saja anak saya ngga diterima.Saya mencoba ikhlas, saya pikir memang kemampuan anak saya masih belum cukup untuk bersekolah disitu. Tapi sempat juga timbul pertanyaan, karena salah satu peserta yang nangis dan ngga mau masuk ruang tes hingga akhirnya mamanya perlu waktu lebih dari setengah jam untuk membujuk dan menghadiahi dengan beberapa cubitan ternyata diterima, menghibur diri mungkin anak itu memang pintar meski terlambat masih bisa menyelesaikan semua pertanyaan dan tugas, tapi ternyata dari hasil ngobrol ngobrol di dapat jawaban kalo papanya sering membantu sekolah memperbaiki komputer sekolah kalo rusak. Sempat juga mendengar desas desus bahwa ibu ibu yang mencoba nitip ke Kepsek diminta menyediakan dana sekitar 3 jutaan, tapi saya tidak tahu kebenarannya.
Setahun telah berlalu, anak saya sudah naik ke kelas dua di sebuah SD reguler di dekat rumah dengan prestasi yang lumayan. Karena berharap anak saya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, saya mencoba memindahkannya ke SD SSN yang waktu itu tidak diterima. Karena saya tidak sempat ke sekolah, salah satu saudara mencoba menemui Kepala Sekolah dan ternyata tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Akhirnya mencoba minta tolong ke Wali Kelas kakaknya.
Ketika mendapat kabar bahwa akan ada satu bangku kosong saya bertanya langkah lebih lanjut untuk mendaftarkan anak saya ke kelas dua, kata Bapak Wali Kelas biasanya Kepala Sekolah minta di sediakan Rp 2 500 000,- nanti akan dibantu langkah selanjutnya. Saya menyanggupi dan diminta menunggu kabar yang akan disampaikan lewat telfon kapan anak saya mau di tes sekalian menyerahkan uangnya. Setelah ditunggu sekian hari hingga mendekati habis masa liburan, tidak juga datang kabar kapan anak saya mau di tes. Dan ketika saya mencoba menghubungi, ternyata oh ternyata ada yang berani memberi Rp 4 000 000,- untuk bangku kosong itu. Saya tentunya tidak berani bersaing dengan memberi di atas angka itu. Kata Bapak Wali Kelas, dia bingung mau berbicara kepada saya untuk menyampaikan kabar itu. Dan juga kata dia jumlah itu bukan sekolah yang minta tapi orang tua murid yang menawarkan diri.
Yang saya sesali, kenapa anak saya ngga di tes dulu. Setidaknya sekedar formalitas untuk menyamarkan bahwa mereka mengutamakan yang berani membayar lebih besar, juga untuk sekedar melegakan hati bahwa anak saya memang tidak mampu sekolah disitu. Yang ada hanyalah rasa marah entah kepada siapa karena tidak mempunyai uang sebesar itu. Seandainya saya punya sedikit saja lebih dari Rp 4 000 000 tentu anak saya bisa bersekolah disitu.
Seharusnya ini jadi pertimbangan pihak yang berwenang bahwa untuk sekolah dengan SSN, sekolah dengan mutu diatas reguler tapi gratis dapat memunculkan praktek uang. Mungkin juga ini cara pihak sekolah mencari tambahan dana untuk meningkatkan mutu menjadi di atas SD reguler. Karena dengan jumlah dana BOS yang sama dengan yang diterima SD reguler tapi dengan jumlah murid yang dibatasi hanya 28 anak perkelas tentu dana yang diterima dari pemerintah tidak cukup untuk membiayai Kegiatan Belajar Mengajar yang di tuntut lebih bermutu dari SD reguler.
Mungkin Bapak Kepala Sekolah lebih pusing daripada saya yang tidak bisa menyekolahkan si kecil disitu. Mencoba bersyukur karena tetap berkesempatan mendapatkan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H