Lihat ke Halaman Asli

Sejarah Pengelompokan dalam Islam

Diperbarui: 28 Desember 2016   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ilmu pengetahuan memang sudah menjadi corak symbol bagi manusia,sehingga manusia itu sendiri dapat mengetahui eksistensi kehidupan. Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang hak, dan ada yang batil pula.

Maka dari situlah pengkajian tentang klasifikasi keilmuan dalam islam perlu di bentuk untuk mengetahui seberapa jauh manusia itu dapat beretika, ber moral,

Atau dalam islam itu dikenal dengan perbuatan akhlak dan spiritualisasi nafsu  Keilmuan dalam islam senyatanya sudah banyak diklasifikasi kan oleh para ilmuan muslim, seperti al-ghazali dalam ar-risalah al-ladunniyyah-nya, al-khawarizmi dalam al-ulim-nya, dan ibnu-nadhim dalam al-fihris-nya. Selain itu para ulamak pun juga menyepakati tentang pengelompokan ilmu dalam islam, seperti halnya dalam penyelenggaraan pakar pendidikan yang terkonfermasi internasional tentang pendidikan yang diadakan di Pakistan, mekkah, dan Jakarta yang sudah disepakati pula tentang pengelompokan ilmu dalam islam itu sendiri, yang dijadikan dua kategori menurut kesepakatan para filosof, yaitu ilmu yang di wahyukan (revealed knowledge), dan ilmu yang dikembangkan oleh nalar pola piker manusia (acquered knowledge ).

Senyatanya, para ilmuan atau pemikir muslim dalam mengembangkan metode ilmiah secara signifikan berbeda dengan metode yang di kembangkan oleh para pemikir barat. Seperti yang telah dikemukakan oleh khoiruddin nasution, kalau ilmuan muslim mengembangkan dengan  cara metode epistimologi (bayani, burhani, irfani) yang sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya, sementara para ilmuan barat hanya menggunakan satu macam metode ilmiah, yaitu metode observasi.Menurut, Muhammad Abed al-jabiri, seorang pemikir muslim kontemporer asal maroko,

Juga membuat pengklasifikasian ilmu dalam islam secara epistemology. Menurutnya, nalar pemikiran dalam islam dapat dikategorikan kedalam tiga epistemology, yaitu epistemology bayani, burhani dan irfani. Yang mana pemikiran tersebut di tuangkan dalam karyanya, yang berjudul takwin al-‘Aql al-‘Arabi.

Pertama, bayani (observasiatauexplanatori),dalam epistemology islam bayani adalah pendekatan dengan cara menggunakan teks, sebagai sumber ilmu pengetahuan yang utama, jadi dalam pemahamannya langsung mengaplikasikan hasil dari teks itu sendiri tanpa memerlukan suatu pemikiran terlebih dahulu. Akan tetapi,  secara tidak lansung bayani ini berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran,  namun akal dan rasio tidak langsung bebas menentukan atau menetapkan makna dan maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks, sehingga dalam bayani akal dan rasio dianggap tidak mampu untuk memberikan pengetahuan kecuali di sandarkan pada teks terlebih dahulu. Adapun sumber epistemology bayani ini bersumbar dalam teks keislaman, yang dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yaitu: 1) teks nash “al-qur’an dan as-sunnah”, 2) teks non-nash “yang berupa karya para ulama”

Dari rumpun yang telah di klasifikasiakan diatas, dapat di perjelas ulang bahwa model berfikir bayani, bahwa akal hanya berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu semata. Akal cenderung menjalankan fungsi jastifikasi, repetitif, taqlidy, dan otoritas dalam teks, sehingga hasil pemikiran tidak boleh bertentangan dengan teks. Yang dijadikan tolok ukur kebenaran epistemology ilmu bayani adalah adanya kesempurnaan atau kedekatan antara teks atau nash dan realitas “non-nash”.

Kedua, tentang pengetahan epistemology burhani, kalau bayani sumber dari pengetahuan yang di dapat melalui teks, maka burhani adalah sumber pengatahuan yang di dapat melalui realitas “al-waqi’”, baik dari alam, sosial, dan humanitis. Maka dari itu ilmu bayani ini sering di sebut dengan al-ilmulkhuzuli,yaitu pengetahuan yang di dapat melalui premislogika akal atau rasio “al-ilmun mantiq dan belaghah”,   semua berprinsip pada akal untuk mencari sebab akibat dan konsep, di susun dan di sistematisasikan lewat premis-premis akal secara logika, bukan lewat pada otoritas teks dan intuisi lagi.

Pola piker ini berpangkal pada prinsip dasar yang digunakan, yaitusebab akibat, kausalitas,  kepastian. Maka diperlukan suatu macam pemikiran tentang kefilsafatan yang berteologi bebas, kreatif, logika, kritis, sistematis, dan radikal. Sehingga dalam menyelesaikan problem atau dalam pengembangan ilmu nya mempunyai kesadaran pandangan tentang apa yang ada di sekitarnya dan aktif dalam memberikan alternative pemecahan, baik dalam argument, tulisan, pembuktian tindakan, deskripsi, dan elaborasi tentang sesuatu. Dan keilmuan yang termasuk dalam nalar ini yang pertama adalah filsafat, ilmu alam “fisika, matematika, biologi, dan kedokteran”, ilmusosial “sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah”.

Pada intinya, pengetahuan yang di dapat oleh epistimologi burhani ini bersumber dari pengembangan pikiran akal manusia semata. Jika melihat pernyataan al-qur’an maka tentu sudah banyakan juranayat yang memerintahkan pada amanusia untuk selalu berpikir menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk dalam benak kita maupun realita yang terjadi. Banyak ayat yang berbicara tentang pentingnya bepikir, membaca keadaan, bukan hanaya membaca buku, dengan ayat: afalata’kilun, afalatatafakkarun, afalatadabbarun, iqrokbismirobbikalladikholaq.Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa akal pun mendapatkan pengetahuan dan kebenaran selama iamasi digunakan dalam wilayahnya yang benar.

Ketiga, irfani adalah pengklasisifikasian tentang pengetahuan yang telah di dapat, sumber pengetahuan melalui pengalaman, baik dalam metode bayani maupun burhani. Yang dimaksud dalam pengalaman tersebut adalah pengalaman langsung, scara panca indra maupun karakteristik naluri, dan perinsipnya adalah lebih merujuk pada batin dan zahir seseorang, batin mempunyai status yang lebih tinggi dalam kenyataan yang di sebut dengan pengalaman. Senyatanya dalam nalar irfani dan bayani sama-sama ada analogi, tetapi keduanya berbeda, kalau dalam nalar irfani ini didasarkan pada penyerupaan atau pengalaman, namun tidak terikat dengan aturan, sementara dalam nalar bayani didasarkan dalam penyerupaan langsung yaitu pada nash atau teks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline