Sandiwara disebut juga dengan lakon yang berarti sebuah cerita yang dipentaskan. Sandiwara bisa juga dikatakan sebagai sebuah drama yang di dalamnya terdapat para pemain yang mementaskan cerita sesuai dengan skrip yang telah ditentukan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidaklah luput dari yang dinamakan sandiwara. Manusia memiliki perannya masing-masing dalam menjalankan kehidupan sosial. Ada sebuah lagu yang cocok untuk sedikit menggambarkan tentang hal tersebut .
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Kalimat di atas merupakan kutipan dari lagu yang berjudul Panggung Sandiwara yang diciptakan oleh Achmad Albar. Lagu tersebut menganalogikan bahwasannya dunia sosial diibaratkan sebagai sebuah panggung sandiwara atau drama yang memberikan manusia perannya masing-masing untuk dipentaskan.
Peran tersebut tidaklah tunggal melainkan setiap manusia memerankan lebih dari satu peran. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Goffman dalam teori dramaturgi. Goffman (1959) menjelaskan dramaturgi dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life bahwasannya sandiwara kehidupan mengharuskan manusia berperan menampilkan panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).
Panggung depan adalah tempat dimana individu atau aktor berinteraksi secara terbuka di dunia sosial. Dalam panggung depan individu cenderung memainkan peran yang diharapkan masyarakat dimana mereka menggunakan simbol-simbol, bahasa tubuh, dan tindakan untuk membentuk sebuah kesan. Sedangkan panggung belakang adalah tempat dimana individu berada dalam lingkungan atau dunia yang lebih pribadi, dimana mereka tidak diharuskan memerankan peran yang sama di depan umum. Panggung belakang lebih cenderung menjadi tempat mereka untuk menyingkirkan peran sosial yang biasanya disajikan di panggung depan.
Mengacu pada teori dramaturgi, manusia dalam kehidupan sosial memiliki panggung depan dan panggung belakang layaknya sebuah pementasan drama. Manusia menampilkan sisi atau peran yang diharapkan masyarakat di panggung depan dengan tujuan membentuk makna dan citra akan dirinya. Sebaliknya di panggung belakang manusia menampilkan sisi aslinya yang terlepas dari apa yang ditunjukkan di panggung depan yaitu dunia sosial (Rorong, 2018).
Contohnya seseorang akan menyetrika bajunya ketika hendak bepergian, memilih baju terbaik, dan memadukan baju, celana, sepatu, dan aksesoris lainnya yang dipakai. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan kesan bahwa ia adalah pribadi yang rapi kepada orang lain. Berbeda dengan ketika ia dirumah atau di kos mereka akan cenderung memakai pakaian yang apa adanya tidak perlu disetrika dan tidak perlu dipadukan. Artinya tindakan sosial manusia didasarkan atau dipengaruhi atas keberadaan orang lain (persepsi orang).
Lalu kapan dan dimana manusia berhenti bersandiwara? Jawabannya ketika manusia berada di kamar mandi. Kamar mandi adalah tempat privat yang dirasa aman untuk manusia atau individu menjadi dirinya sendiri yang terlepas dari seluk beluk dunia sosial. Individu tidak perlu memerankan peran yang biasa ditampilkan di dunia sosial. Pada fase ini individu berada dalam panggung belakang. Kamar mandi merupakan tempat dimana tindakan seseorang tidak lagi dipengaruhi atau didasarkan atas keberadaan orang lain.
Artinya manusia tidak perlu susah payah membentuk kesan. Individu biasanya akan merasa bebas di kamar mandi sehingga sering muncul istilah penyanyi kamar mandi yang ditunjukkan kepada mereka yang sering bernyanyi hanya di kamar mandi. Mereka merasa bernyanyi di kamar mandi tidak akan ada orang yang mendengar atau melihat sehingga mereka bebas bergaya seperti layaknya penyanyi papan atas. Selain itu di dalam kamar mandi orang juga tidak perlu berpenampilan menarik atau bersikap baik, mereka bebas berekspresi seperti apapun.
Teori Dramaturgi menggambarkan bagaimana manusia memiliki dua panggung dalam kehidupannya. Goffman memberikan konsep Impression Management dimana konsep ini mengacu pada bagaimana usaha individu atau aktor untuk mengelola cara orang lain memandangnya. Goffman lebih lanjut menjelaskan bahwa orang akan cenderung berusaha menampakkan dan mempertahankan kesan yang menguntungkan dalam proses interaksi sosial.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan pencitraan diri, penyembunyian informasi, atau penyesuaian perilaku. Teori Goffman ini dapat membantu kita dalam memahami dan menganalisis bagaimana manusia melakukan interaksi dalam kehidupan sosial atau kehidupan sehari-hari, bagaimana mereka memainkan peran, dan bagaimana mereka berusaha mengelola kesan akan dirinya dimata orang lain.