Tidak pernah ada hal yang merubah begitu banyak, sebanyak pandemi ini. Rasa kawatir dan cemas melakukan perjalanan, tetap saja terbersit. Kehati-hatian dan menghindari berdekatan dengan orang lain.
Banyak hal begitu berubah dan yang terimbas paling parah adalah sektor pariwisata. Perhotelan yang biasanya penuh, menjadi begitu lengang. Hampir tidak ada tamu. Ada tamupun harus memberlakukan protokol kesehatan.
Saat itu kami menginap di sebuah hotel yang lumayan bagus dan terkenal di dekat airport.
Rasanya senang mendapatkan harga yang lumayan murah, kamar yang mewah dan tempat yang strategis, ditambah fasilitas ada shuttle bus ke airport.
Begitu masuk ke lobi hotel, tidak ada satu tamupun disana. Hanya ada satu petugas di depan yang mengecek suhu saat kami melewati metal detector.
Ruangan lobi begitu mewah dan nyaman. Begitu juga kamarnya cukup luas untuk ukuran harga yang kami dapatkan.
Kami meminta kamar lantai dua, mengingat usia kami lumayan uzur. Namun kami hanya mendapatkan kamar di lantai 6. Rencananya dua hari menginap disana.
Begitu mau masuk kamar. Pintu kamar disegel stiker besar bertuliskan 'kamar ini sudah didesinfektan'. Segel kami sobek dan masuk kamar. Begitu masuk ke kamar yang cukup mewah, ternyata kamar tersebut adalah kamar konekting. Bau minyak menyeruak membuat istri saya merasa mual, dia langsung menelpon recepsionis untuk meminta pindah kamar lain. Bau minyak dan suara dari sebelah yang sedang batuk, terdengar cukup keras.
Resepsionisnya menjawab bahwa tidak ada kamar lagi. Akan datang petugas untuk menyemprotkan pewangi kamar. Kami sudah membayar untuk dua malam.
Di satu sisi ingin komplain berat, saat itu kami datang jam sebelas malam. Kamar belum siap, kami menunggu di lobi cukup lama. Sekitar satu jam.
Benar- benar kecewa dengan kamar yang kami dapatkan. Pertama bau minyak dan yang kedua sama fatalnya adalah connecting room yaitu dua kamar yang terhubung oleh satu pintu. Sementara kamar yang satunya bukan keluarga. Suara dengkuran dan batuk terdengar. Waduh.