Lihat ke Halaman Asli

Harun Masiku

Diperbarui: 12 Mei 2020   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Tadi malam sekitar jam 10.30 aku bersiap tidur, mematikan komputer mengunci pintu menengok dapur dan lainnya. TV masih "menyala" , biasanya aku lebih suka melihat film dari Trans TV, namun karena film yang diputar sudah sering ditayangkan dan aku sudah hafal  ceritanya maka aku pindah ke Kompas TV barangkali ada yang menarik untuk dilihat di jam itu.

Sambil beres beres sekilas aku memperhatikan tayangan di Kompas TV. Aiman sedang live membicarakan Buronan Kakap KPK " Meninggal Mendadak ?" dengan tanda tanya di dalamnya. Judul yang dibuat tentu ditujukan agar orang pengin tahu benar tidaknya atau bagaimana cara meninggalnya dan sebagainya. 

Aku yakin bahwa buronan KPK tersebut pasti meninggal, namun kapan dan dengan cara apa itu yang aku tidak tahu. Bagiku tidak terlalu berpengaruh apakah buronan tersebut meninggal sekarang atau besok. 

Kalaupun ia meninggal sekarang apa pengaruhnya bagiku? Atau kalaupun di meninggal dunia seratus tahun lagi apa rugi atau untungnya bagiku ? Jadinya aku hanya sepintas memperhatikan acara itu. 

Kadang aku merasa egois karena sering mematikan TV atau memindah cannel jika acara yang yang tampil aku nilai kurang / bahkan tidak bermanfaat.

Pagi tadi aku berkesempatan ke pasar untuk belanja, di sela PSBB ternyata pasar tetap ramai dikunjungi orang, baik pedagang menetap di kios maupun pedagang yang menghampar di trotoar dan pinggir jalan. Demikian juga dengan yang asongan, hilir mudik sambil meneriakan dagangannya. Demikian juga peminta minta ada yang mangkal ada juga yang bergerak menjemput bola. Kerumunan masyarakat di pasar sepertinya tak memikirkan persoalan PSBB lagi, Banyak yang menggunakan masker namun juga tidak sedikit yang tidak menggunakannya. Ada perangkat cuci tangan dari sebuah Partai ada pula dari Bank. Ini sebuah isarat bahwa Partai dan Bank ingin membantu sekaligus promosi. Namun dibalik itu kita dapat membacanya sebagai sebuah paradok. Ditengah kondisi seperti ini mereka "membantu" dengan memberi peralatan cuci tangan namun dibalik itu mereka berharap "Brand" nya menjadi dikenang. Dan terlebih dari itu mereka tidak mendorong masyarakat untuk tidak berkerumun, malah membiarkan melanggar PSBB, mereka "solah" memanfaatkan kerumunan untuk meningkatkan citra. Pikiran manusia itu sungguh multi dimensi, disatu sisi bisa di sebut menolong, disisi lainnya ia sedang memanfaatkan untuk kebuthannya sendiri, Semua ini balik pada hatinurani dan niat masing masing.

Seperi juga koruptor yang dipertanyakan kematiannya oleh Aiman, sesungguhnya ia sedang berpikir menolong atau menghidupi keluarganya dengan cara yang "umum" dilakukan dikantornya atau ia sedang menolong temannya yang juga ingin mendapatkan "rezeki". Rasanya tidak banyak orang yang sadar dan berlatar belakang pemikiran bahwa tindakan korupsi itu sebuah pencurian atau pengambilan uang rakyat dengan cara licik dan memalukan. Jika saja mereka tidak atau belum tertangkap. Pikiran mereka pasti tetap merasa sedang ada di jalur yang benar. Karena jika ia tidak melakukan yang demikian barangkali ia tidak dapat mencukupi nafkah keluarganya, atau standar hidupnya menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan kolega atau malah bawahannya. Atau bisa jadi jika tidak melakukannya cepat atau lambat ia malah digeser dari kedudukannya. Banyak orang bisa mencibir koruptor namun ketika dirinya menduduki kekuasaan seperti itu, bisa jadi ia malah lebih ganas. Ini sebuah kenyataan.

Pagi tadi aku melihat pedagang dipasar,  aku jadi melihat kenyataan yang lainnya.

Pedangang pasar yang hanya menghamparkan barangkali 50 kg ubi, atau beberapa kilo kecambah. Atau ada juga yang menata barangkali 30 potong ayam, dan semacamnya. Ada pula yang mendorong gerobak  untuk menjajakan nasi Soto, es Cincau, nasi Pecel Madiun. Kalau kita mau coba mengkalkulasi dan membandingkan dengan koruptor. Barangkali pedagang pasar harusnya "mati" duluan, Pedagang pasar harusnya tidak bahagia, pedagang pasar juga tidak akan dihormati. Kenapa demikian ? Karena pedagang pasar hanya memiliki sejumput materi dibandingkan segudang harta koruptor.

Namun apa yang terjadi di kenyataan kehidupan. Pedagang pasar yang menjajakan segerobak soto atau sekian kilo ubi, terus dapat hidup normal, anak anak mereka tetap sekolah dan mereka tetap dapat menunaikan ibadahnya dengan sangat baik. Mereka juga saling menghargai dan menghormati. "Sejumput" modal dagangan ini seolah tak pernah habis di makan sekeluarga dengan rasa bahagia. Saya jadi ingat cerita lima roti dan dua ikan yang dapat mengenyangkan lima ribu orang, dan sisanya duabelas keranjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline