Pada 5 Juni 2017, dunia dikejutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik 'dadakan' kepada Qatar oleh Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah seperti Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Yaman, Libya, menyusul kemudian Maladewa. Perselisihan ini cukup unik karena Arab Saudi, UAE, Libya, dan Qatar sebetulnya juga bersahabat sejak lama, apalagi mereka sama-sama berada di organisasi produsen minyak dunia, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak 1960-an.
'Perceraian' diplomatik ini dikaitkan tudingan bahwa Qatar mendukung aktivitas teroris, meskipun sangkaan itu belum bisa dibuktikan. Uniknya, Qatar merupakan 'sekutu' Amerika Serikat (AS), bahkan Qatar menjadi markas terbesar bagi Angkatan Udara AS di Timur Tengah dalam peperangan melawan teroris.
Terlepas dari 'ribut-ribut' di kawasan Timur Tengah, sebetulnya bagaimana ekonomi Qatar bila dibandingkan dengan negara-negara yang memusuhinya, termasuk sekutunya Amerika Serikat (AS)?
Saya mencoba memakai indikator Gross Domestic Product (GDP) per capita atau Pendapatan Perkapita. Indikator ini umum dipakai untuk menilai kinerja ekonomi sebuah negara. Secara definisi, Pendapatan Perkapita merupakan output produk akhir barang dan jasa dari sebuah negara (GDP) yang dibagi dengan total penduduk.
Merujuk pada data International Monetary Fund (IMF), Pendapatan Perkapita Qatar tembus US$ 60.787 di 2016. Angka ini sebetulnya jauh lebih kecil bila dibandingkan tahun 2012 yang sebesar US$ 101.724.
Lantas bagaimana dengan rapor ekonomi AS dan negara-negara yang menghentikan hubungan diplomatik dengan Qatar?
Saudi Arabia, sekutu AS dan juga anggota OPEC, mencatat angka GDP per capita US$ 20.150 di 2016. Ada juga UEA (US$ 37.678), Bahrain (US$ 24.183), Mesir (US$ 3.685), Libya (US$ 5.193), Maladewa (US$ 9.554), Yaman (US$ 938), dan terakhir ada AS. Negara Paman Sam yang tercatat sebagai ekonomi terbesar di dunia (note: GDP) ini, memiliki Pendapatan Perkapita US$ 57.436 di 2016. Bila memakai indikator Pendapatan Perkapita, kinerja ekonomi AS lebih rendah daripada Qatar.
Harga Minyak Dunia 'Gugur' atau 'Meroket' Pasca Perceraian?
Merujuk pada salah satu patokan harga minyak mentah dunia jenis Brent, pergerakan crude oil justru 'meredup'. Artinya, perselisihan antara Saudi Cs dan Qatar ternyata memberikan sentimen negatif sehingga tidak 'mengerek' naik harga minyak mentah dunia. Sebaliknya, pada hari H atau di awal 'sengketa' diplomatik tanggal 5 Juni (5/6), harga minyak Brent dijual US$ 48.25 per barel, kemudian keesokan harinya (6/6) turun menjadi US$ 48.11 per barel, US$ 47.08 per barel (7/6), US$ 46.30 per barel (8/6), dan US$ 46.64 per barel (9/6).
Tampaknya, harga minyak dunia dalam beberapa bulan ke depan masih akan berputar pada angka US$ 50-an per barel. Alasannya, produsen minyak dunia dari OPEC dan non OPEC telah bersepakat memangkas produksi minyak sejak Desember 2016. Kesepakatan yang mulai berlaku pada Januari 2017 ini awalnya membawa 'angin segar' bagi industri minyak. Pada awal Desember 2016, harga minyak mentah dunia di pasar internasional dibandrol berkisar US$ 52 per barel, kemudian perlahan merangkak naik pasca kesepakatan anggota OPEC dan non OPEC. OPEC sendiri menguasai supply minyak mentah dunia 32.48 juta barel per hari (36.18%), sedangkan negara non OPEC menguasai supply minyak mentah dunia 57.30 juta barel per hari (63.82%).