Lihat ke Halaman Asli

Cerita Anak Pesantren Raih Gelar Sarjana di China

Diperbarui: 22 Juni 2017   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ni'mah dan Rizal (dok. Pribadi)

Tuntutlah ilmu sampai Negeri China. Mungkin itulah yang ada di pikiran Ahmad Syaiful Rizal (Rizal), Ni'matus Sholehah (Ni'mah), dan Moh. Alwi Arifin (Alwi). Ketiganya adalah para santri lulusan Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur yang melanjutkan pendidikan sarjana di Huaqiao University, Xiamen, Provinsi Fujian, China.

Ni'mah dan Rizal telah belajar di China selama empat tahun. Kedua santri ini baru saja menamatkan program Sarjana Pendidikan Bahasa Mandarin, sedangkan Alwi akan memasuki tahun keempat di China.

Umumnya, santri setelah lulus pendidikan SMA di pondok pesantren melanjutkan pendidikan agama atau Bahasa Arab di Mesir atau Arab Saudi, namun Rizal, Ni’mah, dan Alwi memilih jalur berbeda.

Rizal awalnya tak tertarik Bahasa Mandarin. Berjalannya waktu, ia menyadari bahwa Bahasa Mandarin akan menjadi penting, selain Bahasa Inggris. Pemikiran serupa juga disampaikan oleh adik kelasnya, Alwi.

Sedangkan Ni'mah justru awalnya tertarik mendalami Bahasa Arab saat belajar di SMA Nurul Jadid. Di saat bersamaan, ia juga mempelajari Bahasa Mandarin.

"Di jurusan Bahasa (SMA Nurul Jadid) ada 3 bahasa yakni Inggris, Arab dan Mandarin. Terus mau mendalami Arab tapi Arab keteter yang bagus justru Mandarinnya. Habis itu, guru saya dari China mendukung dan menyemangati. Gara-gara nilai bagus, saya didukung sama guru," cerita Ni'mah.

Setelah menyelesaikan SMA di pondok pesantren tahun 2013, Rizal dan Ni'mah mendapat informasi dari sekolah tentang kerja sama pondok pesantrennya dan sebuah kampus di China. Untuk masuk sebagai mahasiswa, mereka diminta mengikuti pelatihan dan tes bahasa di Surabaya selama 3 bulan. Selama pelatihan, Ni'mah dan Rizal bekerja paruh waktu di lembaga pendidikan sebagai juru ketik dan petugas fotokopi, alhasil mereka digratiskan biaya pendidikan selama di Surabaya.

Mereka akhirnya bisa mengantongi syarat bahasa minimum (HSK 4) untuk mendaftar pada Program Pendidikan Bahasa Mandarin di Huaqiao University (Huada). Alwi sendiri menyusul 1 tahun berikutnya di tahun 2014.

Ni'mah, Rizal, dan Alwi mengaku bahwa para orang tua mereka sangat mendukung untuk belajar di China.

"Nggak ada larangan sebetulnya. Semenjak saya membuktikan pesantren bukan pilihan yang salah. Sekarang ibu bilang terserah kamu," lanjut Rizal.

Ni’mah, Rizal, dan Alwi sendiri memperoleh beasiswa bebentuk partial scholarship sehingga biaya pendidikan dan asrama digratiskan, sedangkan mereka hanya membayar biaya hidup selama di Xiamen, China.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline