Lihat ke Halaman Asli

Aliran-aliran pendidikan

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

1.Nativisme

Istilah nativisme berasal dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor prndidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran.Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak.[1]

Tokoh aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860), dia adalah seorang filsuf yang berkebangsaan Jerman yang sangat dikenal sebagai orang yang pesimis dan pemahamannya terhadap realitas sebagai yang tidak masuk akal.Dia berpendapat bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau atau pendidikan itulah pribadi seseorang, bukan hasil pendidikan. Tanpa potensi hereditas yang baik, seseorang  tidak mungkin mencapai taraf  yang dikehendaki, meskipun dididik dengan maksimal.[2]Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya, jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna  bagi perkembangan anak itu sendiri.[3]

Contoh dari pandangan nativisme adalah anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtuanya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga ahli seni musik, maka anak tersebut akan berkembang menjadi seniman musik yag mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.

Bertolak dari pemikiran diatas, maka konsep pendidikan Schopenhauer dapat dikemukakan lebih lanjut senagai berikut:

Pertama, berkaitan dengan mendidik. Menurutnya, mendidik adalah tidak lain dari membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya pendidikan tersebut, bergantung kepada tinggi rendahnya jenis pembawaan yang dimiliki anak. Pendidikan menurut aliran ini tidak memiliki kekuatan sama sekali. Dengan demikian, aliran nativisme ini termasuk yang bersifat pesimistis dalam memandang pendidikan, yakni bahwa pendidikan tersebut sebagai yang tidak ada nilainya.

Jika pandangan kaum nativisme tersebut dihubungkan dengan ajaran islam tampak bahwa ajaran tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. Islam mengakui bahwa setiap manusia memiliki kemampuan jasmani, akal, dan rohani yang dibawanya sejak lahir.Namun, berbagai kemampuan tersebut tidak dapat dengan sendirinya tumbuh dan berkembang jika tidak dilakukan pembinaan.Kemampuan tersebut baru merupakan potensi atau bahan yang masih harus dibentuk.[4]Tentang adanya potensi yang harus dikembangkan dan dibina ini dapat dipahami dari ayat yang artinya: ‘dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Nahl, 16:78).

2.Empirisme

Aliran Empirisme atau aliran yang berdasarkan pada pengalaman bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkmbangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan.Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulant-stimulan.Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.[5] Aliran ini sangan berlawanan dengan aliran nativisme yang  beranggapan bahwa perkembangan manusia tergantung pada faktor bawaan(keturunan) dan bukan dari lingkungan.

Seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) mengembangkan sebuah teori yang disebut dengan Teori “Tabula Rasa” yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas kosong (putih) atau meja berlapis  lilin yang belum ada tulisan di atasnya. Oleh karena itu, kertas kosong tersebut dapat ditulisi sekehendak hati yang menulisnya, dan lingkungan itulah yang menulis kertas kosong tersebut.Menurut teori ini, kepribadian didasarkan pada lingkungan pendidikan yang didapatinya atau perkembangan jiwa seseorang semata-mata bergantung kepada pendidikan.[6]

Misalnya, ada dua anak lahir kembar, dan dari kecil mereka dipisahkan dan dibesarkan pada lingkungan yang berbeda.Satu dari mereka dididik oleh keluarga yang kaya raya dan disekolahkan di sekolah modern, dan yang satu dididik oleh keluarga miskin di sebuah desa. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.

Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman, sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan.Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.[7]

Dalam pandangan Islam, teori empirisme atau behaviorisme yang dikemukakan John Locke tersebut tidak sepenuhnya dapat  diterima. Islam mengakui bahwa lingkungan atau pendidikan memiliki pengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Ibn Miskawaih, Ibn Sina, dan al-Ghazali misalnya mendukung paham tersebut. Para filsuf Islam tersebut misalnya berpendapat, bahwa jika lingkungan atau pendidikan tidak berpengaruh pada pembentukan pribadi manusia, maka kehadiran para Nabi menjadi sia-sia.Kenyataa menunjukkan bahwa dengan kedatangan para Nabi, keadaan masyarakat menjadi berubah dari keadaan yang tersesat menjadi lurus, dari keadaan berbuat zalim menjadi berbuat baik, dari keadaan bodoh menjadi pandai, dari keadaan biadab menjadi beradab dan seterusnya. Nabi Muhammad Saw misalnya menyatakan bahwa ia diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Namun demikian, Islam tidak memutlakkan peran lingkungan atau pendidikan dan menghilangkan peran hidayah Allah Swt. Islam memandang bahwa lingkungan tidak sepenuhnya dapat membentuk orang menjadi baik.Buktinya ada anak seorang Nabi yang tidak menjadi orang yang beriman. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt, menyatakan: sesungguhnya  kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash, 28:56). Dengan demikian, terlihat dengan jelas bahwa pemikiran pendidikan empirisme atau behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diterima dalam ajaran Islam.

3.Konvergensi

Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia.Karena aliran ini merupakan perpaduan dari aliran sebelumnya, yaitu nativisme dan empirisme. Seorang tokoh pendidikan Jerman bernama William Stern (1871-1939) berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjunya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting.[8]

Bakat yang dibawa anak pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu.

Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata.Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak berbicara dalam bahasa tertentu.Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan sebagainya. Kemampuan satu anak dengan anak yang lain (yang tinggal dalam lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan anak-anak tersebut menggunakan bahasa yang sama.

Di kalangansebagian pemikir Islam ada yang berpendapat , bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah ajaran yang mendukung teori konvergensi. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang artinya: bahwa setiap anak yang dilahirkan telah membawa fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.(HR Baihaqi)

Namun demikian, Islam sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai penganut paham konvergensi plus, yakni bahwa keberhasilan pendidikan selain disebabkan karena usaha manusia, juga karena hidayah dari Allah Swt. Hal ini dapat dipahami dari QS Al-Waaqi’ah (56) ayat 63-64 yang artinya: maka apakah kamu memerhatikan apa-apa yang kamu tanam? Apakah kamu menumbuhkannya atau kami yang menumbuhkannya?.Dengan berpegangan ayat tersebut, maka Islam menganut paham konvergensi plus, atau konvergensi yang memadukan antara usaha manusia dengan kehendak Tuhan.Hal ini sejalan pula dengan ideology pendidikan Islam yang bercorak humanism theo-centris, yakni ideology yang memahami penggabungan antara usaha manusia dan kehendak Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan.2008. Jakarta:PT Rineka Cipta

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. 2012. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. 2009. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline