Ku duduk di beranda rumah,
Pagi yang indah, bisik hatiku,
Ramadan ini menyenangkan sekali,
Suara burung terdengar lebih merdu,
Bunga-bunga terlihat lebih indah,
Ku letakkan tangan di dadaku,
dia bernyanyi, nyanyian yang tidak ku mengerti.
Tahun ini adalah tahun ke-dua bagi ku menjalani puasa. Semenjak saya memilih untuk masuk Islam dan pindah ke Aceh. Aku mengalami banyak perubahan hidup. Harus berhadapan dengan banyak hal yang di luar dugaan. Kehilangan kemudahan materi, kenyamanan hidup dan juga kehilangan pekerjaan. Keberanian untuk pindah agama serta pindah tempat tinggal adalah keputusan yang aku ambil tanpa pikir panjang.
Di Aceh aku melamar kerja di salah satu pesantren. Karena aku mualaf, aku juga di beri tempat tinggal. Aku bahkan ditawarkan untuk dinikahkan dengan salah satu teman sesama guru di sini. Tapi aku menolak dengan halus, dikarenakan belum siap menanggung tanggung jawab.
Di bulan ramadan, sekolah tempat aku bekerja tutup. Aku memilih untuk ikut salah satu teman yang pulang kampung . Aku bisa saja tinggal di pondok, karena sebagian guru yang di beri rumah oleh yayasan, tetap di sini. Aku pikir-pikir memenuhi ajakan teman untuk tinggal dan merayakan lebaran di rumah nya adalah pengalaman baru. Apa lagi dari cerita teman ku ini, bisa berbuka di surau yang di sebut dengan meunasah. "Pasti menyenangkan" khayal ku.
Sesampai di kampung Meunasah Aree, untuk beberapa hari aku tidak ke luar rumah selain ke meunasah. Aku ikut berbuka puasa di meunasah, kemudian ikut salat berjamaah. Setelah selesai Tarawih baru aku pulang. Di sini orang-orang banyak salat Tarawih sampai raka'at 20, di tambah salat Witir menjadi 23 raka'at. Para pria tidak langsung pulang. Mereka duduk mengobrol sambil minum kopi atau teh. Di sini masih ada tradisi menggunakan meunasah sebagai tempat untuk sekadar mengobrol.
Setelah seminggu di sini, aku berkeliling kampung untuk melihat keadaan di sini. Tiba di balai desa, aku berhenti karena ramai orang di sana. Aku pinggir kan sepeda dan duduk di bawah tenda di bagian paling belakang. Setelah mendengar dengan hikmat beberapa menit kemudian aku tahu Ini adalah "penyuluhan kesehatan jiwa" yang biasa dilakukan oleh Tenaga Kesehatan Masyarakat setempat secara berkala.
Satu jam berlalu, kegiatan penyuluhan selesai, aku mendekati salah seorang perawat dan menanyakan apa boleh aku memiliki nomor telepon beliau karena aku sangat tertarik pada apa yang beliau sampaikan. Beliau memberikan nomor beliau. Nama beliau Asma Wati.
Di hari berikutnya aku menghubungi beliau untuk menanyakan kesediaan beliau berbuka puasa di rumah Nasir. Aku memperkenalkan diri sebagai seorang mualaf dan belum genap 2 tahun berada di Aceh. Aku juga bisa di sini karena kebaikan hati sahabat ku Nasir. Aku menyampaikan keinginan untuk lebih mengenal beliau melalui pesan singkat. Asma bersedia dan meminta izin untuk mengajak saudara laki-laki nya. "Ya saya juga ingin meminta Asma untuk mengajak salah satu saudara" balas ku dengan perasaan yang malu.
Tidak banyak yang bisa aku tanyakan pada nya selama acara berbuka puasa. Selain waktu yang singkat, semua ingin mengobrol dengan nya. Meski ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Pertemuan singkat ini membuat aku bisa berkenalan dengan saudara laki-laki beliau dan bisa melihat bahwa Asma memiliki kepribadian yang menarik . Ia tidak hanya ramah tapi juga pintar.
Yang paling menyentuh adalah cerita Asma di masa pandemi di mana pasien beliau bertambah. Dan itu disebabkan karena kehidupan yang tiba-tiba berubah drastis, tidak semua orang siap dengan perubahan yang terjadi yang diakibatkan oleh pandemi. Dan mereka yang mengalami dampak dari pandemi ada yang menjadi depresi. Asma harus menambah jam kerja dikarenakan pasien bertambah. Beliau mengatakan "tidak ada gunanya mengeluh, sebagai manusia yang sudah Allah beri pengetahuan di bidang ini. saya pikir salah satu cara berterima kasih kepada Allah adalah dengan memberikan hati sepenuhnya pada tugas ini".
Asma melanjutkan "Saya melakukan pendekatan secara psikologi selain dengan memberi obat yang sudah diresepkan oleh Dokter. Di luar jam kerja saya dan beberapa teman mengunjungi pasien-pasien kami secara pribadi untuk berdialog dengan mereka, makan dengan mereka atau sekadar datang untuk menanyakan kabar mereka. Saat saya akan pamit pulang, saya menyampaikan perasaan saya; "bahwa saya perhatian dan sayang pada mereka". Saya mempertegas bahwa saya sayang kepada mereka dengan mengulang kalimat itu beberapa kali sambil menatap mata mereka. lalu saya bertanya; Apakah mereka percaya pada saya? Saya yakin dengan mengulang kata-kata cinta bisa menguatkan hubungan antara saya dan pasien saya.
Saya juga percaya dan yakin, silaturrahmi yang saya lakukan kepada mereka setiap minggu nya di luar jam kerja, membantu kesembuhan mereka. "Cinta yang tulus selalu berbalas cinta yang sama". " Itu keyakinan lainnya yang ada dalam diri saya"