Lihat ke Halaman Asli

Rasa Bersalah Harus Dibawa Pergi

Diperbarui: 15 Maret 2024   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Masalah adalah tantangan untuk bertemu dengan pengetahuan baru. Untuk memperkaya diri. Untuk menjadikan dirimu berisi dan bijaksana. Menghantar jiwa pada gerbang  kesadaran, bahwa manusia harus menundukkan hati  pada keagungan Tuhan, pemilik ilmu pengetahuan"

Ini masih sangat pagi. Semua orang di rumah masih tidur, kecuali aku. Aku sedang meniru gambar vas bunga pecah yang kemudian di perbaiki. Lalu vas itu di gunakan untuk menanam bunga baru. Yang nantinya, bunga itu tumbuh indah dan berwarna ceria. Gambar ini akan ku tempel di dinding kamar ku. Akan ku jadikan sebagai pengingat dan motivasi, bahwa aku yang telah berbuat kesalahan, bisa memiliki masa depan bila aku berusaha lagi dan lagi.

Tok tok tok, aku terkejut, siapa yang mengetuk pintu kamar se-pagi ini. Aku segera bangkit dan membukanya. Nampak sepupu ku Zalyan berdiri dengan ke-dua tangan nya di sembunyikan di belakang.
"Aku punya sesuatu untuk mu Dwi" Sambil tertawa aneh.
"Apa itu? Jangan main-main, aku sedang sibuk. Dan aku belum memaafkan kamu" 
Jawabku ketus.
"Aku punya hadiah, tapi kau harus maafkan aku "
"Apa hubungannya hadiah dengan memaafkan? Aku tidak bisa di sogok, sudah pergi sana" 


Aku segera menutup pintu kamar kembali. Aku belum bisa menghilangkan rasa kesal ku. Pasalnya tadi sore saat aku sedang mengangkat air dari sumur ke dalam rumah, Zalyan menarik jilbab ku. Nasib baik di lihat oleh paman, dan dia di tegur oleh beliau. Bila tidak aku pasti sudah jatuh dan ter-kilir.
Aku tidak bisa memaki dia. Aku harus menahan ucapan kasar  karena aku tinggal di rumahnya sekarang.

"Dwi, maafkan aku, buka pintunya " Suara Zalyan memelas di luar kamar.
"Pergi sana, jangan ganggu aku"
"Ayo lah, maafkan aku, aku janji tidak akan jahil lagi"
"Kau pembohong, aku tidak percaya, pergi sana"

Siapa yang percaya bahwa omongan atau janji orang jahil bisa di pegang. Di kampung ku, pak Hasan dikenal orang jahil dari dia masih muda, sampai dia punya julukan 'Hasan Jahilun'. Si Umar teman sekelas di bangku SD, sampai hari ini masih usil pada anak perempuan yang lewat di depan rumahnya.
"Ah, ganggu saja si Zalyan, hilang konsentrasi ku" aku meracau di dalam hati. Aku melanjutkan menggambar vas bunga. Aku ingin segera menyelesaikannya sebelum bibi memanggil ku untuk makan sahur.

Pagi ini, setelah paman dan bibi pulang dari pasar. Aku, Ani, Aisyah dan Ayu segera ke dapur untuk membuat kue kering. Bibi sudah 4 tahun menjalankan bisnis kue kering. Hasil kerja keras bibi bisa terlihat dari anak-anaknya yang bisa bersekolah di kota. Anak bibi yang pertama, uni Yati  bisa sekolah di sekolah swasta yang ternama. Zalyan juga di belikan motor untuk berangkat ke sekolah. 

Aku di sini, tinggal dengan bibi ku karena aku harus mencari uang untuk aku kirim ke kampung. Ayahku meminta ku untuk membantunya mencari uang. Ibu ku penderita asma. Beliau lebih banyak sakit dan terbaring di kamar, dari pada sehat. Namun bila beliau sedang sehat, ibu akan memasak, merapikan halaman, atau apa pun yang bisa dikerjakan nya. 

Sementara ayahku buruh kasar, dan beliau juga sudah tua. Uni ku sudah kawin dan tinggal di Palembang dengan suaminya. Dan aku anak ke-dua, yang baru tamat SMA, tidak punya kerja, tidak kuliah juga. Maka ayah memilih ku untuk di kirim ke rumah paman untuk bekerja. 

Aku juga perlu kegiatan untuk menyibukkan diri. Maka saat ayah meminta ku untuk berangkat ke Rokan Hulu ke rumah paman, aku segera menjawab "baik Ayah"
Di kampung aku merasa tertekan. Ibu ku sakit-sakitan, adikku, Kinan dan Firman masih kecil. Aku tidak rajin belajar, nilai-nilai ku biasa-biasa saja. Sehingga aku tidak bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Aku merasa sangat bersalah karena aku tidak berjuang untuk masa depanku. Dan penyesalan itu datang, setelah 2 sahabatku berangkat ke Malang untuk kuliah.

Berhari-hari aku bersedih dan iba pada diriku sendiri. "Aku bodoh, bodoh sekali" Maki ku dalam hati.
Rasa bersalah harus dibawa pergi. Dan inilah yang aku pilih untuk membuat hatiku merasa lebih baik. Bekerja, menghasilkan uang, mengirim untuk keluargaku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline