Lihat ke Halaman Asli

Veronica Yuliani

Guru bahasa yang jatuh cinta dengan cello, panflute, dan violin.

Komunitas yang Baik Menjadi Saudara dalam Kesukaran

Diperbarui: 11 Januari 2023   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan sesamanya. Oleh karena itu, manusia butuh komunitas. Komunitas yang baik akan membuat setiap orang semakin bertumbuh dan menjadi tim pendukung yang menyediakan solusi ketika seseorang mengalami masalah.

Saya sudah merasakan sendiri betapa komunitas yang baik itu menjadi saudara ketika saya mengalami kesulitan. Hal ini saya rasakan beberapa kali ketika saya sakit. Saya sangat bersyukur telah menjadi bagian komunitas ini.

Komunitas pertama adalah komunitas sekolah saya. Komunitas sekolah saya memiliki budaya yang membangun dan membuat setiap anggotanya bertumbuh dalam hal kerohanian dan kekeluargaan.

Sekolah saya adalah sekolah kristen. Setiap pagi sebelum memulai aktivitas selalu dimulai dengan morning devotion yakni pembacaan dan pembahasan alkitab disertai renungan. Seluruh anggota komunitas wajib mempimpin membawakan renungan secara bergantian secara terjadwal. Renungan dibuat mengikuti tema tertentu yang telah disusun.

Saya sangat terberkati dengan budaya ini. Saya juga semakin bertumbuh dalam hal rohani. Sebagai orang katolik saya juga terpacu untuk rajin membaca kitab suci, memiliki waktu doa atau saat teduh seperti saudara-saudara saya yang protestan di sekolah ini.

Saya melihat mereka memiliki kehidupan doa yang baik, selalu berkata-kata yang baik dan positif, dan tidak segera 'meledak' ketika menghadapi suatu masalah.

Di sekolah saya khususnya unit SMA, saya merasakan kekeluargaan yang sangat baik. Jika ada salah satu anggota yang sakit, lalu mereka akan segera menghimpun dana, mendoakan bersama, dan juga mengunjunginya.

Hal ini juga yang mereka lakukan kepada saya ketika awal mula saya sakit skizofenia, di tahun 2015 yang lalu. Mereka mendoakan saya, mencarikan psikolog, membawa saya pulang ke rumah, dan membawa saya ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Tanpa mereka mungkin saya tidak akan mendapat penanganan yang tepat.

Setelah mengetahui saya sakitpun sikap mereka tidak berubah. Tidak ada satupun yang menghina atau merendahkan saya. Mereka selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya. Ini adalah berkat yang indah yang saya terima dari Tuhan.

Rasa kekeluargaan yang eratpun saya rasakan ketika saya terpapar covid-19 saat pandemi kemarin. Mengetahui saya positif covid, teman-teman guru di sekolah saya langsung membentuk grup baru tanpa sepengetahuan saya untuk berkoordinasi bagaimana membantu saya dalam memenuhi kebutuhan makan dan minum selama isolasi mandiri, mengingat saya adalah anak kos.

Selama saya isolasi mandiri teman guru setiap hari secara bergantian mengirimkan makanan untuk saya. Pagi, siang, dan sore. Bahkan, kepala sekolah saya pun turut memasakkan makanan untuk saya. Bukankah ini adalah berkat yang indah dalam hidup saya? Belum tentu di tempat lain saya mendapatkan perhatian yang sebesar ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline